Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Sosok Sayyidah Hajar dalam Sejarah Hari Raya Kurban

11 Juli 2022   11:15 Diperbarui: 11 Juli 2022   11:17 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Sa'i sebagai salah satu rangkaian ibadah haji dan umrah-sumber: dokumentasi Kementerian Haji Arab Saudi diunggah dari kompas.com

Idul Adha adalah salah satu hari raya yang begitu penting bagi umat Islam. Hari raya yang sering disebut juga dengan hari raya kurban atau Lebaran Haji ini dilaksanakan setiap tanggal 10 bulan Zulhijah dalam sistem kalender Hijriah.

Sejarah hari raya Idul Adha memang tidak dapat dipisahkan dari kisah Nabi Ibrahim as yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail as. 

Sebagai umat Islam, kita pun tahu bagaimana dialog yang terjadi antara ayah dan anak tersebut. Singkat cerita, ketika Nabi Ismail telah dibaringkan di atas sebuah batu dan hendak disembelih, Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba. Sejak saat itulah hingga hari ini perintah kurban dilakukan dengan menyembelih hewan-hewan ternak berkaki empat, seperti domba, kambing, sapi, kerbau atau unta.

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini pulalah yang selalu disampaikan saban tahun dalam khotbah salat Idul Adha. Namun, satu yang terlintas dalam benak, di mana peran Sayyidah Hajar dalam sejarah hari raya kurban? Mengapa sosoknya jarang dibicarakan?

Sayyidah Hajar adalah istri kedua Nabi Ibrahim as dan ibunda Nabi Ismail as. Dikisahkan pula bahwa Sayyidah Hajar adalah seorang puteri raja dari sebuah dinasti bernama Maghreb. Akibat kekalahan ayahnya dalam peperangan, Sayyidah Hajar dijadikan budak oleh Raja Mesir yang berkuasa saat itu. Hingga suatu ketika, Sayyidah Hajar diberikan kepada Nabi Ibrahim sebagai hadiah dari Raja Mesir.

Usia yang kian menua dan belum juga dikaruniai keturunan, membuat istri pertama Nabi Ibrahim, Sayyidah Sarah mengizinkan sang suami untuk menikahi Sayyidah Hajar demi mendapatkan keturunan. Dari pernikahan tersebut lahirlah Nabi Ismail.

Kemudian Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membawa Sayyidah Hajar dan Nabi Ismail yang masih bayi ke Mekah dan meninggalkan mereka di sana. Demi ketaatannya kepada Allah, Sayyidah Hajar menerima perintah tersebut dengan ikhlas. Padahal tempat itu adalah padang pasir yang kering, tiada air, pepohonan maupun pemukiman manusia.

Ketika Nabi Ismail menangis karena lapar dan haus, Sayyidah Hajar berlari bolak-balik antara Bukit Safa dan Marwah hingga tujuh kali, tapi tidak mendapatkan air. Nabi Ismail yang terus menangis pun menghentak-hentakkan kakinya ke tanah hingga keluar air atas izin Allah. Tempat itulah yang kini kita kenal sebagai sumber mata air Zam-zam.

Kisah Sayyidah Hajar inilah yang kemudian diabadikan menjadi salah satu rangkaian dari ibadah haji dan umrah, yaitu Sa'I atau berlari-lari antara Bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali.  

ilustrasi Sa'i sebagai salah satu rangkaian ibadah haji dan umrah-sumber: dokumentasi Kementerian Haji Arab Saudi diunggah dari kompas.com
ilustrasi Sa'i sebagai salah satu rangkaian ibadah haji dan umrah-sumber: dokumentasi Kementerian Haji Arab Saudi diunggah dari kompas.com

Lalu, apa yang dapat kita pelajari dari perempuan hebat ini?

Pertama, ketaatan dan kesabaran

Ditinggalkan bersama bayinya di tempat yang kering, tandus dan tidak berpenghuni, tidak lantas membuat Sayyidah Hajar mengeluh. Beliau bersabar dan menjalaninya sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah.

Kondisi lingkungan yang kering dan tanpa tanda-tanda kehidupan nyatanya tidak membuat Sayyidah Hajar hanya pasrah menunggu pertolongan tanpa melakukan ikhtiar. Buktinya, Sayyidah Hajar berlari bolak-balik sampai tujuh kali dari Bukit Safa ke Marwah demi bisa memperoleh setetes air untuk puteranya yang menangis karena lapar dan haus.

Perjuangan beliau ini sekaligus mengajarkan pada kita bahwa makna sabar bukan berarti diam saja, pasrah atau tidak berusaha.

Islam mengajarkan pada kita untuk ikhtiar sebelum tawakal. Berusaha sebaik mungkin, hasilnya serahkan kepada Allah. Jika hasil yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan yang kita kehendaki, barulah kita bersabar atas keputusan-Nya.

Andai Sayyidah Hajar tidak mengusahakan apa-apa, mungkin tidak akan ada Sa'i dalam rangkaian ibadah haji dan umrah. Jika Sayyidah Hajar tidak berbuat sesuatu, entah apa yang akan terjadi padanya dan puteranya yang masih bayi. Sebab Allah sendiri berfirman bahwa Dia tidak akan mengubah nasib seseorang atau suatu kaum yang tidak mengusahakan adanya perubahan (Surat Ar-Ra'd: 11).

Ketika mengetahui perihal mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail, Sayyidah Hajar justru membuktikan betapa beliau adalah seorang perempuan dengan kualitas spiritual, emosional dan rasional yang luar biasa. Bayangkan jika itu terjadi pada seorang ibu seperti Anda, apa yang akan Anda lakukan?

Sayyidah Hajar dengan naluri keibuannya mungkin akan menolak dan melakukan segala cara untuk mengelak dari perintah Allah itu. Namun, karena ketakwaannya, Sayyidah Hajar dikisahkan mengasah pedang yang akan dipakai untuk menyembelih hingga benar-benar tajam agar tidak membuat sang anak tersiksa.

Sungguh suatu ujian yang tidak mudah bagi seorang ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan seorang anak, jauh pula dari suami. Tiba-tiba datang hari di mana anak yang dirawat dengan kasih sayang itu harus dikurbankan. Ibu mana yang sanggup bersikap seteguh Sayyidah Hajar?

Meskipun hanya disebutkan secara tersirat dalam Al-Quran dan petunjuk tentangnya lebih banyak dikaitkan dengan kelahiran serta kehidupan puteranya, bukan berarti sosok Sayyidah Hajar boleh dilupakan dalam sejarah. 

Sayyidah Hajar adalah teladan dan inspirator jihad kaum perempuan. Beliau adalah perempuan dengan iman yang kokoh dan akhlak yang mulia. Darinya, lahirlah seorang anak saleh yang menjadi utusan Allah, yaitu Nabi Ismail. Darinya pula lahir generasi penerus sampai pada kelahiran nabi agung kita, Muhammad Saw.

Sebagai penutup dari artikel ini, izinkan saya mengutip bait terakhir puisi karya Nyai Badriyah Fayumi, Ulama Feminis Nahdlatul Ulama (NU), berjudul Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar.

"Maka,
Jangan pernah lupakan Sayyidah Hajar!
Karena melupakannya
adalah melupakan peran ketuhanan dan kemanusiaan perempuan
karena melupakannya
adalah melupakan separuh peradaban"

Meski terlambat sehari-dua hari, saya mengucapkan selamat merayakan Idul Adha bagi yang merayakan. Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari artikel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun