Hasil riset dari empat negara maju (Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Denmark) yang dirangkum oleh tirto.id, menunjukkan bahwa cuti melahirkan yang diambil ayah berpengaruh positif bagi perkembangan fisik dan emosi anak.
Ayah di Denmark yang mengambil cuti melahirkan, 70% lebih sering bermain dengan anaknya daripada yang tidak.
Di Inggris, ayah yang mengambil cuti melahirkan lebih sering membacakan buku bagi anak-anaknya daripada yang tidak.
Dua aktivitas tersebut dapat merekatkan ikatan emosional antara ayah dan anak.
Temuan ini juga dibenarkan oleh survei dari McKinsey dan LeanIn.org terhadap 130 ayah baru dan pasangan mereka di 10 negara tentang penambahan waktu cuti ayah (extended paternity leave).
Hampir setengah dari jumlah ayah di seluruh dunia mengungkapkan ketidakpuasan mereka atas kurangnya waktu yang dihabiskan bersama anak-anak.
Jumlah ini dua kali lipat dari jumlah ibu yang mengungkapkan hal yang sama. Di sinilah cuti ayah berperan dalam mengatasi ketidakpuasan tersebut sehingga ayah punya kesempatan lebih banyak untuk membangun relasi yang erat dengan anak-anak.Â
3. Berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara
Jika pasangan suami-istri berbagi tugas pengasuhan melalui kebijakan cuti hamil berbayar, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja akan meningkat.
Laporan OECD yang dikutip dari weforum.org menyebutkan jika partisipasi perempuan di Amerika Serikat, Perancis dan Italia dalam dunia kerja sama dengan laki-laki, PDB masing-masing akan meningkat sebesar 9% (AS), lebih dari 11% (Perancis) dan 23% (Italia). Jika hal ini terjadi di seluruh negara OECD, rata-rata akan mengalami kenaikan PDB sebesar 12% pada 2030.
Negara-negara Skandinavia, seperti Islandia, Swedia dan Norwegia, yang notabene memiliki sistem cuti melahirkan yang ramah ayah, turut berkontribusi pada pemberdayaan ekonomi perempuan sehingga perekonomian negara dapat tumbuh dan stabil.
4. Mengenalkan dan mengajarkan anak tentang kesetaraan gender sejak dini
Kebijakan cuti melahirkan atau cuti yang ramah bagi suami diharapkan dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam perawatan dan pengasuhan anak.
Suami dan istri bisa saling berbagi tugas dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian, mereka bisa menunjukkan pada  anak sejak dini bahwa pekerjaan domestik, seperti memasak, bersih-bersih, mengasuh anak bukan hanya tanggung jawab perempuan.
Sementara aktivitas di ruang publik, seperti bekerja, bukan hanya milik laki-laki.