Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "RUU KIA dan Dilema Kebijakan Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Dunia Kerja".
Cuti melahirkan bagi ibu pekerja diberikan atas dasar kondisi biologisnya yang dapat mengalami kehamilan, melahirkan dan menyusui. Wacana perpanjangan cuti melahirkan menjadi 6 bulan ditujukan agar ibu pekerja dapat memberikan ASI eksklusif pada bayinya.
RUU KIA juga memberikan perpanjangan cuti bagi suami untuk mendampingi istri melahirkan. Dari yang awalnya hanya 2 hari, bertambah menjadi 40 hari. Apabila istri mengalami keguguran, cuti yang diberikan adalah 7 hari.
Di negara maju, cuti bagi suami (paternity leave) adalah hal yang lazim diberikan. Hal ini berpijak pada pandangan bahwa tugas merawat dan mengasuh anak seharusnya dilakukan bersama, bukan hanya istri.
Pemberian cutinya pun bermacam-macam, tergantung kebijakan di negara yang bersangkutan.
Negara-negara Skandinavia adalah contoh bagaimana sistem cuti melahirkan mampu dijalankan dengan sangat baik.Â
Di Swedia, ibu pekerja mendapatkan cuti hamil/melahirkan 480 hari dengan 80% gaji, sedangkan ayah mendapatkan cuti selama 90 hari dengan gaji penuh.
Di Slovenia, cuti bagi ayah adalah 90 hari, dengan ketentuan 15 hari pertama gaji dibayar penuh dan 75 hari sisanya dibayar dengan upah minimum. Bagi ibu hamil, cuti hamil bisa mencapai 105 hari, termasuk 28 hari menjelang kelahiran.
Sistem cuti hamil di Norwegia malah lebih fleksibel.
Seorang ayah dapat mengambil cuti hingga 10 minggu, tergantung pendapatan istri. Sementara seorang ibu berhak mendapatkan 35 minggu cuti dengan gaji 100%.
Keduanya bisa mendapatkan cuti hingga 46 minggu dengan gaji penuh dan 56 minggu dengan 80% gaji.
Kebijakan cuti melahirkan di Islandia bagi ibu dan ayah, masing-masing adalah 3 bulan dan sisa 3 bulannya lagi, bisa dibagi untuk siapa (untuk ibu atau ayah yang bersangkutan) dan diatur kapan waktunya. Selama cuti, keduanya berhak mendapat 80% gaji.
Di Finlandia, kebijakan cuti melahirkan betul-betul progresif.
Negara Nordik yang terletak di Eropa Utara ini memiliki kebijakan cuti melahirkan bagi ayah selama 8 minggu dan 23 minggu bagi ibu. Keduanya pun mendapat gaji penuh.
Hari cuti ini dapat dibagi antara masa kehamilan hingga merawat anak. Setelah anak berumur 3 tahun, orangtua bisa berbagi waktu atau bergantian membesarkan anak sampai ia kelas 2 SD.
Mengapa Cuti Hamil/Melahirkan juga Penting bagi Suami?
1. Suami dapat memberikan dukungan dan pendampingan psikis bagi istri
Sejak masa kehamilan, kelahiran dan menyusui, seorang istri kerap mengalami perubahan hormonal, fisik maupun psikis. Perubahan-perubahan ini kadang membuatnya seperti tidak mengenal dirinya lagi.
Jika sebelum punya anak, istri bisa tidur nyenyak setelah lelah bekerja atau mengerjakan pekerjaan rumah.
Setelah punya anak, sering ia harus bangun tengah malam karena anaknya menangis. Entah si bayi ngompol atau ingin menyusu. Hal ini tentu membuat pola tidur istri berubah drastis.
Tak jarang beberapa ibu mengalami baby blues. Ada pula yang mengalami stres dan depresi.
Kehadiran suami dalam fase-fase ini akan membuat suami lebih dekat secara emosional dengan istri dan anaknya. Suami juga dapat membantu istri menghadapi baby blues atau gejolak-gejolak emosional lain yang dirasakan oleh istri.Â
2. Berpengaruh positif pada tumbuh kembang anak
Hasil riset dari empat negara maju (Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Denmark) yang dirangkum oleh tirto.id, menunjukkan bahwa cuti melahirkan yang diambil ayah berpengaruh positif bagi perkembangan fisik dan emosi anak.
Ayah di Denmark yang mengambil cuti melahirkan, 70% lebih sering bermain dengan anaknya daripada yang tidak.
Di Inggris, ayah yang mengambil cuti melahirkan lebih sering membacakan buku bagi anak-anaknya daripada yang tidak.
Dua aktivitas tersebut dapat merekatkan ikatan emosional antara ayah dan anak.
Temuan ini juga dibenarkan oleh survei dari McKinsey dan LeanIn.org terhadap 130 ayah baru dan pasangan mereka di 10 negara tentang penambahan waktu cuti ayah (extended paternity leave).
Hampir setengah dari jumlah ayah di seluruh dunia mengungkapkan ketidakpuasan mereka atas kurangnya waktu yang dihabiskan bersama anak-anak.
Jumlah ini dua kali lipat dari jumlah ibu yang mengungkapkan hal yang sama. Di sinilah cuti ayah berperan dalam mengatasi ketidakpuasan tersebut sehingga ayah punya kesempatan lebih banyak untuk membangun relasi yang erat dengan anak-anak.Â
3. Berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara
Jika pasangan suami-istri berbagi tugas pengasuhan melalui kebijakan cuti hamil berbayar, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja akan meningkat.
Laporan OECD yang dikutip dari weforum.org menyebutkan jika partisipasi perempuan di Amerika Serikat, Perancis dan Italia dalam dunia kerja sama dengan laki-laki, PDB masing-masing akan meningkat sebesar 9% (AS), lebih dari 11% (Perancis) dan 23% (Italia). Jika hal ini terjadi di seluruh negara OECD, rata-rata akan mengalami kenaikan PDB sebesar 12% pada 2030.
Negara-negara Skandinavia, seperti Islandia, Swedia dan Norwegia, yang notabene memiliki sistem cuti melahirkan yang ramah ayah, turut berkontribusi pada pemberdayaan ekonomi perempuan sehingga perekonomian negara dapat tumbuh dan stabil.
4. Mengenalkan dan mengajarkan anak tentang kesetaraan gender sejak dini
Kebijakan cuti melahirkan atau cuti yang ramah bagi suami diharapkan dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam perawatan dan pengasuhan anak.
Suami dan istri bisa saling berbagi tugas dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian, mereka bisa menunjukkan pada  anak sejak dini bahwa pekerjaan domestik, seperti memasak, bersih-bersih, mengasuh anak bukan hanya tanggung jawab perempuan.
Sementara aktivitas di ruang publik, seperti bekerja, bukan hanya milik laki-laki.
Kesadaran akan kesetaraan gender dapat mengantarkan mereka pada pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra yang setara dan seharusnya bisa bekerja sama, baik di ruang publik maupun domestik.
5. Saling belajar untuk menghargai pasangan
Berbagi tugas antara suami dan istri, termasuk dalam hal mengasuh anak, akan membuat beban kerja lebih ringan.
Suami tidak akan bersikap sebagai "si paling capek" hanya karena dia yang kerja sedangkan istri di rumah. Dia akan belajar bagaimana rasanya jadi istri yang harus mengerjakan pekerjaan rumah dari A-Z, tanpa libur, gaji maupun pensiun.
Berbagi tugas rumah tangga juga dapat membantu istri untuk bisa sama-sama produktif dan berprestasi dalam kariernya. Toh, istri yang bekerja dan berpenghasilan sebetulnya ikut membantu suami dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H