Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menjadi Manusia Merdeka dari Buya Syafii Maarif

31 Mei 2022   10:15 Diperbarui: 31 Mei 2022   11:38 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Buya Syafii Maarifsumber: kompas.com/WIJAYA KUSUMA

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Indonesia baru saja kehilangan putra terbaiknya. Buya Ahmad Syafii Maarif, seorang ulama, cendekiawan dan guru bangsa, telah wafat pada hari Jumat, 27 Mei 2022 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta. Jenazahnya disalatkan di Masjid Gedhe Kauman dan dikebumikan di kompleks Pemakaman Muhammadiyah di Dusun Donomulyo, Nanggulan, Kulonprogo.

Hingga akhir hayatnya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 ini tetap rajin menulis di berbagai media, menjadi pembicara dalam seminar atau forum diskusi dan aktif memperjuangkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.

Selain di media massa, jejak pemikiran Buya Syafii dapat ditelusuri melalui beberapa buku karyanya, seperti Percaturan Islam dan Politik-Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), Memoar Seorang Anak Kampung (2013), Fikih Kebhinekaan (2015) dan lain-lain.

Perjalanan dan aktivisme intelektual Buya Syafii inilah yang kemudian dijadikan landasan pendirian MAARIF Institute for Culture and Humanity (2003), sebuah lembaga yang menitikberatkan komitmen perjuangannya pada ranah keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan. Atas karya intelektual dan kemanusiaannya ini, beliau dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina pada tahun 2008.

Pemikiran dan Sikap Buya Syafii Maarif

Buya Syafii adalah ulama lintas zaman. Beliau lahir sepuluh tahun sebelum kemerdekaan, menjalani masa muda di zaman Soekarno, dewasa di zaman Soeharto, menua kemudian wafat di zaman reformasi. Oleh karena itu, beliau paham betul bagaimana perkembangan sejarah, politik dan keislaman di negeri ini.

Tulisan beliau di Kompas yang berjudul Pesan untuk Muhammadiyah dan NU, misalnya, berisi kekhawatiran akan tangan-tangan jahil yang ingin mengusik kedamaian umat, terutama dari kelompok-kelompok yang menggunakan tameng agama dalam menjalankan aksinya. 

Beliau juga menyelipkan harapan agar NU dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi besar Islam bisa menjadi representasi wajah Islam yang ramah, cinta damai, toleran, mengayomi dan inklusif. Jangan sampai generasi baru dari kedua kelompok ini mudah dipengaruhi oleh ideologi Islam transnasional dengan kebenaran tunggalnya sehingga saling bertengkar akibat salah paham yang tidak perlu.

Ulama yang dijuluki "Pendekar Chicago" oleh Gus Dur ini juga punya kepedulian pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Beliau memberi dukungan pada literatur-literatur yang ditulis oleh para feminis muslim, seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin. 

Apresiasi yang sama beliau tujukan pula kepada ulama-ulama feminis Tanah Air, seperti Prof. Nasaruddin Umar dan KH Husein Muhammad, atas keberanian dan kiprahnya dalam meramaikan kajian gender Islam.

Dalam buku Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Syafii Ma'arif, disebutkan mengenai bagaimana seorang Buya Syafii Maarif memandang dan memperlakukan perempuan. 

Meski yang dilakukan adalah hal kecil dan sederhana, secara tidak langsung beliau telah menunjukkan bahwa perjuangan feminisme juga bicara soal empati atau kepekaan. Contohnya seperti yang terdapat dalam salah satu tulisan yang ditulis oleh Devi Adriyanti.

Suatu ketika di kantor Suara Muhammadiyah, tepatnya pada 2019, Buya Syafii sedang menerima tamu yang mengobrol dan mewawancarai beliau. Salah satu dari tamunya adalah seorang perempuan, Indonesianis, Nancy K. Florida. 

Ketika waktu makan siang tiba, Nancy terlihat duduk di lobi kantor sambil memegang nasi kotak dan sebotol air mineral.

Mengetahui hal itu, Buya Syafii lantas meminta tolong pada seorang resepsionis untuk menaruh meja kecil di depan Nancy agar tamunya itu dapat makan dengan nyaman. Setelah meletakkan meja di dekat Nancy, barulah Buya Syafii mempersilakannya makan.

Di media, Buya Syafii pernah tampil membela Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang saat itu dijerat pasal penistaan agama. Pembelaan Buya bukan didasarkan pada status Ahok sebagai seorang minoritas melainkan atas dasar keadilan.

Buya bukan tipikal orang yang membela atau menentang seseorang atau sesuatu cuma karena ikut-ikutan pihak "yang paling ramai". Bukan pula tipikal orang yang asbun alias asal bunyi. Alasan di balik pembelaan beliau itu tetap dilandasi dengan ilmu.

Akibat sikap dan pernyataannya saat itu, orang-orang ramai menghujat Buya Syafii. Ada pula yang dengan tega mengutuk dan mendoakan keburukan bagi beliau. Namun, Buya Syafii tidak marah dan balik menghujat mereka.

Pribadi yang Merdeka

Ada banyak cerita tentang kebijaksanaan dan kesederhanaan hidup Buya Syafii Maarif yang bisa kita jadikan pelajaran. Beliau adalah sosok yang antara pikiran, ucapan maupun tindakannya sejalan dan selalu memberi keteduhan.

Pemikirannya adalah pelita di tengah kegelapan dan kesempitan berpikir kita yang gemar mengklaim kebenaran sebagai milik diri dan kelompoknya. 

Ucapan dan sikapnya adalah oase di tengah kegersangan situasi sosial politik akibat perilaku para elite yang lebih sibuk berebut kuasa daripada bekerja untuk kesejahteraan rakyat.

Buya Syafii Maarif bukan seorang yang gila harta, pujian dan kekuasaan. Beliau adalah seorang pemikir independen yang tidak takut untuk menyuarakan kebenaran. Buya mengajarkan pada kita untuk membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

Guru bangsa kita ini adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Beliau adalah pribadi yang merdeka, yang telah mampu meredam ego pribadi dan nafsu duniawinya. Itu sebabnya  beliau tidak pernah takut akan kehilangan kekuasaan, pengaruh atau dicaci maki karena menyatakan pandangan dan sikapnya akan suatu hal.

Wafatnya Buya Syafii merupakan kehilangan besar bagi bangsa ini. Di tengah krisis moral dan sosial yang menimpa negeri ini, sosok seperti Buya Syafii begitu dibutuhkan tapi sulit ditemukan. 

Semoga kita dapat belajar dari beliau untuk menjadi pribadi yang berani, berprinsip kuat, independen tapi tetap toleran dan cinta damai. Al-Fatihah untuk beliau.. 

Referensi: 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun