Perempuan yang misoginis seringkali meninggikan diri sendiri, baik lewat ucapan atau tindakan, dan menjatuhkan perempuan lain. Mereka suka menganggap dirinya paling unik, spesial dan berbeda dengan kebanyakan perempuan untuk mendapat perhatian dan pengakuan. Mereka mengidap apa yang disebut sebagai sindrom "I'm not like the other girls"atau "pick me girl".
Maunya dianggap keren karena terlihat berbeda tapi masih mengadopsi nilai-nilai patriarki.
Misalnya, stereotipe bahwa perempuan itu lemah dan emosional sehingga tidak bisa jadi pemimpin. Ketika perempuan ikut meyakini lalu mengekspresikan lewat ucapan atau tindakan, jadinya internalized misogyny.
Ada pun bentuk-bentuk internalized misogyny yang barangkali tidak kita sadari tapi sering dilakukan sebagai berikut.Â
- Berkomentar negatif tentang penampilan fisik perempuan lain (body shaming)
- Bersikap sok spesial dengan mengatakan beberapa hal seperti, "Aku kan gak kayak cewek kebanyakan"atau "Mending temenan sama cowok. Nggak banyak drama dan nggak suka gosip"dan lain-lain yang jatuhnya malah mengamini stereotipe gender
- Melihat dan menganggap perempuan lain sebagai saingan, ancaman atau musuh, baik dalam interaksi sosial maupun profesional, untuk menarik perhatian dan pengakuan laki-laki
- Menghambat perempuan lain untuk merealisasikan mimpi dan memaksimalkan potensinya
- Menciptakan standar ganda yang lebih memprioritaskan laki-laki daripada perempuan, baik dalam lingkup keluarga maupun sosial (contoh: kalau kamar anak laki-laki berantakan dianggap biasa tapi kalau kamar anak perempuan yang berantakan langsung kena ceramah 3 SKS)
- Membela, membenarkan dan mewajarkan tindakan misoginis atau pelecehan, baik terhadap diri sendiri maupun perempuan lain (contoh: ketika ada perempuan dilecehkan, perempuan lain berkata, "Pakaiannya aja seksi begitu. Ya wajarlah kalau dilecehkan")Â
Persaingan dan Kepemimpinan Perempuan di Dunia Kerja
Mikaela Kiner, seorang CEO, penulis dan executive coach asal Amerika Serikat, melalui risetnya menemukan bahwa perempuan sebetulnya bisa menghargai persaingan yang sehat dan mampu berjuang secara adil atas suatu pekerjaan, proyek atau promosi.
Adanya persaingan tidak sehat antar perempuan bukan semata-mata karena sifat si perempuan melainkan ada faktor eksternal yang memengaruhi, termasuk lingkungan kerja itu sendiri.
Konsep "one seat at the table" (satu kursi dalam satu meja) adalah pemicu utama dari persaingan yang tidak sehat antar perempuan. Konsep ini berasal dari keyakinan bahwa keragaman itu memang diamanatkan tapi tidak berguna.
Mungkin ini sebabnya kita sering menemukan kurangnya representasi perempuan di bidang industri tertentu atau di posisi-posisi strategis dalam organisasi.Â
Padahal banyak bukti yang menunjukkan bahwa keragaman dalam suatu organisasi justru menguntungkan. Organisasi akan lebih inovatif serta mampu menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang lebih tinggi.
Pandangan dan nilai-nilai patriarki yang menyatakan bahwa perempuan tidak sekuat dan sekompeten laki-laki telah terinternalisasi dalam pikiran bawah sadar mereka sehingga memengaruhi cara pandang mereka terhadap perempuan lain.
Karena perempuan selalu dipandang lebih inferior dari laki-laki, akhirnya mereka memandang perempuan lain juga sebagai pihak yang inferior.