Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memaknai Hari Kebangkitan Nasional lewat Peran dan Tantangan Dunia Pers Era Kiwari

20 Mei 2022   12:38 Diperbarui: 20 Mei 2022   18:00 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peran pers di Hari Kebangkitan Nasional| Shutterstock via Kompas.com

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei tentu tidak lepas dari peran dunia pers. Geliat pers tanah air berkaitan erat dengan perkembangan pers Belanda---terutama lewat koran De Locomotief yang menjadi corong suara kaum etis---dan pers Tionghoa---melalui koran Sin Po yang menyuarakan nasionalisme.

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah tokoh yang memelopori lahirnya pers nasional dengan menerbitkan Medan Prijaji, sebuah surat kabar nasional pertama yang berbahasa Melayu, pada tahun baru 1907. 

ilustrasi Hari Kebangkitan Nasional-sumber gambar: Istockphoto/Rawpixel diunduh dari cnnindonesia.com
ilustrasi Hari Kebangkitan Nasional-sumber gambar: Istockphoto/Rawpixel diunduh dari cnnindonesia.com

Medan Prijaji dikenal pula sebagai surat kabar pertama yang dikelola pribumi secara mandiri mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan dan jurnalisnya. Surat kabar ini terbit di bawah badan hukum yang bernama NV (Naamlooze Vennootschap atau Perseroan Terbatas alias PT) Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften "Medan Prijaji".

NV tersebut tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji tapi juga surat kabar lain, termasuk Soeloeh Keadilan. Melalui Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan, Tirto menjadi pelopor jurnalisme advokasi. 

Tulisan-tulisannya tajam dan sering berisi pembelaan terhadap kaum tertindas serta kritik terhadap kesewenang-wenangan para pejabat, baik kolonial maupun pribumi. Dia juga merupakan pribumi pertama yang menanamkan kesadaran berbangsa pada para bumiputera melalui pers.

Di kemudian hari, tulisan-tulisannya inilah yang mengantarkannya pada hukuman pengasingan di Maluku tahun 1912. Di tahun itu pula Medan Prijaji terbit untuk yang terakhir kali. 

Sepulang dari pengasingan dan kembali ke Batavia, pengaruhnya sudah melemah, asetnya disita negara dan teman-temannya menjauh. Tanggal 7 Desember 1918, Tirto Adi Soerjo, sang perintis pers bumiputera berpulang dalam kesunyian akibat depresi akut yang menjangkitinya.

Tantangan Pers Nasional Zaman Kiwari

ilustrasi pers era kiwari berupa informasi yang bisa diakses secara daring dengan teknologi-photo by Pixabay from pexels
ilustrasi pers era kiwari berupa informasi yang bisa diakses secara daring dengan teknologi-photo by Pixabay from pexels
Sejak sebelum kemerdekaan hingga kiwari, pers nasional menghadapi berbagai tantangan, mulai dari masalah finansial, pembredelan, penyerangan terhadap jurnalis hingga---yang banyak terjadi di era digital---penyebaran informasi lebih menuntut kecepatan sehingga luput dari memenuhi kaidah dan standar jurnalistik.

Biar begitu, kita semua sepakat bahwa pers punya peran besar dalam menciptakan sejarah dan peradaban suatu bangsa. Terbukti bagaimana pers dapat membentuk pendapat umum kemudian melahirkan gerakan-gerakan yang mengantarkan Indonesia pada kemerdekan dari penjajahan.

Meski pers nasional pernah mengalami masa-masa suram di era Orde Baru, hal itu tidak menyurutkan langkah pihak-pihak yang kritis pada pemerintah untuk menggaungkan demokrasi. Hasilnya tentu dapat kita nikmati di era Reformasi dengan adanya keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat cara orang dalam mengonsumsi informasi berubah. Informasi tentang apa dan dari mana saja bisa diakses melalui gawai yang terkoneksi dengan internet. Perubahan ini membuat produksi dan penjualan media cetak menurun drastis. Tidak sedikit pula yang gulung tikar karena pendapatan terus menurun.

Kecepatan dan kemudahan mengakses informasi membuat kita berhadapan dengan "kebisingan informasi". Entah karena dikejar deadline atau apa, media seolah berlomba menjadi yang tercepat dalam mengabarkan tapi lupa pada kualitas sehingga informasi yang disampaikan menjadi dangkal.

Media yang saat ini banyak dimiliki oleh konglomerat atau petinggi partai politik nampaknya turut memengaruhi framing pemberitaan yang digunakannya. Framing media inilah yang nantinya akan mempengaruhi opini publik atas suatu masalah tertentu. 

Salah satu cara paling mudah untuk mengetahuinya adalah dengan melihat siapa narasumber yang sering diberi ruang untuk bersuara. Apakah media tersebut sudah memberi ruang yang berimbang antara suara kelompok elit dan marginal, kelompok mayoritas dan minoritas?

Literasi Media sebagai Spirit Hari Kebangkitan Nasional

Mulai dari periode menjelang hingga awal kebangkitan nasional, masa pendudukan Jepang hingga kemerdekaan, era Orde Baru hingga Reformasi, pers bagaikan medan perang bagi berbagai pemikiran.

Medan Prijaji boleh tamat riwayatnya sebagaimana juga pendirinya, tapi jangan anggap bahwa semangat kebangsaan padam begitu saja. Setelahnya muncul tokoh-tokoh lain yang menyuarakan dan menumbuhkan kesadaran kebangsaan melalui koran-koran yang mereka terbitkan, seperti Oetoesan Hindia (Surabaya, 1914) di bawah Sarekat Islam, Neratja (Batavia, 1917), Boedi Oetomo (Yogyakarta, 1920), Sri Djojobojo (Kediri, 1920), Hindia Sepakat (Sibolga, 1920), Oetoesan Islam (Gorontalo, 1927), Oetoesan Borneo (Pontianak, 1927) dan berbagai surat kabar lokal maupun pers Islam.

Di masa kini pers hadir dalam bentuk digital, seperti situs-situs berita daring, podcast, video dan berbagai platform media sosial. Kita tidak hanya dituntut untuk mampu memperoleh informasi dengan memanfaatkan berbagai media tapi juga perlu memperhatikan literasi media agar informasi yang disebarkan dan diterima bisa memiliki nilai tambah. 

Bagaimana kita memverifikasi kebenaran suatu kabar, bagaimana reaksi kita atas setiap informasi yang diterima (apakah kita cenderung bersikap emosional atau rasional), bagaimana memilih dan memilah informasi yang penting/tidak penting, fakta/opini, bermanfaat/tidak bermanfaat, adalah sebagian dari literasi media yang penting untuk diajarkan.

Lalu, jangan lupakan juga tentang etika bermedia sosial. Media sosial adalah ruang yang bebas. Saking bebasnya, sebagian orang berpikir bahwa mereka boleh melakukan apa saja, seperti perundungan, menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, penipuan dan tindak kejahatan lainnya dengan bersembunyi di balik anonimitas.

Wasana Kata

Pers di masa lampau memang berbeda dengan sekarang meski fungsinya tetap sama. Ia berperan besar dalam menanamkan pemikiran dan kesadaran kebangsaan hingga lahirlah apa yang kini kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan nasional ini tetap harus dipelihara dan dimaknai ulang sesuai perkembangan zaman.

Sebagai pembentuk pendapat umum, pers punya tanggung jawab dalam menyampaikan kebenaran secara bebas dan independen. Sebab, apa yang disuarakan oleh pers dan diterima oleh masyarakat, itulah yang akan mempengaruhi sikap dan pola pikir mereka atas suatu masalah atau peristiwa.

Referensi: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun