Meski pers nasional pernah mengalami masa-masa suram di era Orde Baru, hal itu tidak menyurutkan langkah pihak-pihak yang kritis pada pemerintah untuk menggaungkan demokrasi. Hasilnya tentu dapat kita nikmati di era Reformasi dengan adanya keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat cara orang dalam mengonsumsi informasi berubah. Informasi tentang apa dan dari mana saja bisa diakses melalui gawai yang terkoneksi dengan internet. Perubahan ini membuat produksi dan penjualan media cetak menurun drastis. Tidak sedikit pula yang gulung tikar karena pendapatan terus menurun.
Kecepatan dan kemudahan mengakses informasi membuat kita berhadapan dengan "kebisingan informasi". Entah karena dikejar deadline atau apa, media seolah berlomba menjadi yang tercepat dalam mengabarkan tapi lupa pada kualitas sehingga informasi yang disampaikan menjadi dangkal.
Media yang saat ini banyak dimiliki oleh konglomerat atau petinggi partai politik nampaknya turut memengaruhi framing pemberitaan yang digunakannya. Framing media inilah yang nantinya akan mempengaruhi opini publik atas suatu masalah tertentu.Â
Salah satu cara paling mudah untuk mengetahuinya adalah dengan melihat siapa narasumber yang sering diberi ruang untuk bersuara. Apakah media tersebut sudah memberi ruang yang berimbang antara suara kelompok elit dan marginal, kelompok mayoritas dan minoritas?
Literasi Media sebagai Spirit Hari Kebangkitan Nasional
Mulai dari periode menjelang hingga awal kebangkitan nasional, masa pendudukan Jepang hingga kemerdekaan, era Orde Baru hingga Reformasi, pers bagaikan medan perang bagi berbagai pemikiran.
Medan Prijaji boleh tamat riwayatnya sebagaimana juga pendirinya, tapi jangan anggap bahwa semangat kebangsaan padam begitu saja. Setelahnya muncul tokoh-tokoh lain yang menyuarakan dan menumbuhkan kesadaran kebangsaan melalui koran-koran yang mereka terbitkan, seperti Oetoesan Hindia (Surabaya, 1914) di bawah Sarekat Islam, Neratja (Batavia, 1917), Boedi Oetomo (Yogyakarta, 1920), Sri Djojobojo (Kediri, 1920), Hindia Sepakat (Sibolga, 1920), Oetoesan Islam (Gorontalo, 1927), Oetoesan Borneo (Pontianak, 1927) dan berbagai surat kabar lokal maupun pers Islam.
Di masa kini pers hadir dalam bentuk digital, seperti situs-situs berita daring, podcast, video dan berbagai platform media sosial. Kita tidak hanya dituntut untuk mampu memperoleh informasi dengan memanfaatkan berbagai media tapi juga perlu memperhatikan literasi media agar informasi yang disebarkan dan diterima bisa memiliki nilai tambah.Â
Bagaimana kita memverifikasi kebenaran suatu kabar, bagaimana reaksi kita atas setiap informasi yang diterima (apakah kita cenderung bersikap emosional atau rasional), bagaimana memilih dan memilah informasi yang penting/tidak penting, fakta/opini, bermanfaat/tidak bermanfaat, adalah sebagian dari literasi media yang penting untuk diajarkan.
Lalu, jangan lupakan juga tentang etika bermedia sosial. Media sosial adalah ruang yang bebas. Saking bebasnya, sebagian orang berpikir bahwa mereka boleh melakukan apa saja, seperti perundungan, menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, penipuan dan tindak kejahatan lainnya dengan bersembunyi di balik anonimitas.
Wasana Kata
Pers di masa lampau memang berbeda dengan sekarang meski fungsinya tetap sama. Ia berperan besar dalam menanamkan pemikiran dan kesadaran kebangsaan hingga lahirlah apa yang kini kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan nasional ini tetap harus dipelihara dan dimaknai ulang sesuai perkembangan zaman.