Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Cuti Haid adalah Kebutuhan, Bukan Tanda Lemahnya Pekerja Perempuan

16 Mei 2022   07:55 Diperbarui: 27 Mei 2022   15:25 1426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cuti haid | gambar diunduh dari idxchannel.com

Pekerja perempuan memang sering mengalami berbagai hambatan dalam dunia kerja. Salah satunya adalah perihal cuti haid.

Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 81 menyebutkan bahwa perempuan yang sedang haid diperbolehkan mengambil hak cuti haidnya pada hari pertama dan kedua serta tidak diwajibkan bekerja tanpa pengurangan upah dari perusahaan, tentu dengan sepengetahuan perusahaan. Jika terbukti melanggar, perusahaan terancam dikenakan sanksi pidana penjara minimal 1 bulan dan maksimal 4 tahun serta denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 400 juta. (1)

Namun, aturan ini rupanya masih kurang familiar sehingga banyak pekerja perempuan yang tidak tahu kalau hak cuti haid itu dijamin dalam undang-undang. Sementara beberapa perusahaan masih enggan dan mempersulit pemberian hak cuti haid karena dinilai menghambat produktivitas.

Hal inilah yang dialami oleh buruh perempuan salah satu perusahaan yang memproduksi es krim, Erlitha Tri Novianty. Erlitha yang ketika itu sedang haid mengalami nyeri perut hebat sehingga meminta surat cuti kepada HRD. Perusahaan tidak mengizinkannya dan meminta Erlitha untuk memberikan Surat Keterangan Dokter (SKD) dari faskes I atau klinik dan rumah sakit dalam naungan perusahaan. 

Ketika Erlitha meminta SKD, faskes I tidak memberikannya. Akhirnya, pada 6 Januari 2020, Erlitha yang sedang haid hari pertama tetap masuk kerja lantaran gajinya terancam dipotong jika absen. Kondisi tersebut membuatnya mengalami pendarahan hebat hingga tembus ke baju seragam. (2)

Rasa nyeri hebat yang dialami Erlitha ketika haid disebabkan oleh endometriosis. Hasil survei American Congress of Obstetricians dan Gynecologists menyebutkan, lebih dari setengah perempuan mengalami rasa sakit saat haid (dismenore) selama satu hingga dua hari. 

Data dari American Academy of Family Physicians menunjukkan sebanyak 20% perempuan mengalami dismenore cukup parah bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari. 

Memahami Kondisi Tubuh Perempuan Haid

ilustrasi perempuan yang harus istirahat karena mengalami nyeri haid parah | Sumber gambar: Dietdoctor diunduh dari lifestyle.okezone.com
ilustrasi perempuan yang harus istirahat karena mengalami nyeri haid parah | Sumber gambar: Dietdoctor diunduh dari lifestyle.okezone.com
Nyeri perut atau dismenore adalah hal yang biasa terjadi ketika haid. Namun, nyeri haid sering dipandang negatif, sebagaimana halnya dengan haid itu sendiri. Hal inilah yang kemudian memunculkan beberapa mitos seputar nyeri haid.

Rasa nyeri yang dirasakan setiap perempuan memang bisa berbeda, mulai dari yang ringan dan wajar sampai yang parah hingga menyebabkan pingsan. Tentu tidak semuanya buruk.

Dikutip dari pinkvilla.com, nyeri ringan hingga sedang saat menstruasi sebetulnya menunjukkan bahwa siklus menstruasi tersebut baik-baik saja. 

Kemudian ada mitos yang mengatakan kalau nyeri haid dapat membuat seorang perempuan infertil atau mandul sehingga sering disarankan untuk segera menikah. Ini tidak sepenuhnya benar karena kita harus tahu dulu, nyeri seperti apa yang dirasakan. Nyeri haid yang menyebabkan kemandulan adalah apabila nyeri tersebut timbul karena endometriosis.

Selain nyeri atau kram perut, ada juga perempuan yang mengalami keluhan yang lebih parah, seperti pinggul dan selangkangan yang pegal, kelelahan meski tidak melakukan aktivitas apapun, muntah-muntah, diare dan pusing.

Ketidakpekaan dan ketidakpahaman terhadap pengalaman reproduksi perempuan menyebabkan pekerja perempuan yang meminta cuti haid dianggap manja. Dikira mereka minta cuti haid cuma modus biar bisa bermalas-malasan. Itu sebabnya meski sudah diatur dalam undang-undang, sebagian perusahaan enggan memberi izin.

Kalau pun diberi izin, kadang dengan risiko potong gaji. Pekerja perempuan juga sering bingung harus memberi alasan apa kalau mau izin. Mau izin dengan alasan sakit bakal dimintai surat keterangan dokter. Mau bilang terus terang kalau nyeri haid membuatnya tidak bisa leluasa beraktivitas tapi malu dan takut dimarahi atasan. 

Akibatnya, pekerja perempuan terpaksa tetap masuk kerja sambil menahan nyeri haid yang luar biasa. Padahal memaksakan diri untuk bekerja dengan kondisi seperti itu dapat membahayakan dirinya. Seperti yang dialami oleh Erlitha, di mana ia mengalami pendarahan hebat karena tetap bekerja meski sebenarnya tidak kuat menahan rasa nyeri yang begitu parah.

ilustrasi cuti haid | gambar diunduh dari idxchannel.com
ilustrasi cuti haid | gambar diunduh dari idxchannel.com

Cuti Haid Bukan Tanda Kelemahan Pekerja Perempuan

Meski ide tentang cuti haid disambut baik, ternyata ada juga yang kontra karena dianggap turut membenarkan stigma negatif menstruasi. Perempuan yang sedang menstruasi akan mengalami perubahan kondisi psikologis menjadi lebih emosional. Belum lagi keluhan-keluhan fisik saat menstruasi yang membuat perempuan tidak dapat beraktivitas seleluasa biasanya.

Dua hal inilah yang juga kerap dijadikan alasan untuk menolak pekerja perempuan menduduki posisi-posisi strategis di perusahaan. Seolah menstruasi membuat pemimpin perempuan lebih emosional, lemah dan kurang produktif sehingga tidak mampu berpikir rasional dan menjalankan fungsinya sebagai pengambil keputusan.

Sementara pihak yang pro menganggap pemberian hak cuti haid sebagai wujud kesetaraan dan penghormatan atas kondisi biologis pekerja perempuan yang berbeda dengan pekerja laki-laki. 

Pemberian hak cuti haid justru tidak hanya menguntungkan pekerja perempuan tapi juga perusahaan. Pekerja perempuan akan merasa lebih dihargai dan kepuasan kerja meningkat sehingga termotivasi untuk bekerja lebih baik.

Hal ini didukung oleh laporan yang diterbitkan oleh Standard Chartered Bank tahun 2021 yang dikutip oleh bbc.com, menunjukkan bahwa 25% dari 2.400 responden menyebut gejala haid yang mereka alami, kurangnya kesadaran dan dukungan dari atasan maupun rekan kerja membuat kemungkinan untuk resign lebih besar. Faktor yang sama juga memungkinkan sekitar 22% responden lainnya untuk pensiun seutuhnya. 

Kebijakan perusahaan yang inklusif dan menjunjung kesetaraan gender dapat mengurangi risiko kehilangan pekerja perempuan yang cerdas dan bertalenta.

Pergeseran nilai dan budaya kerja saat ini seharusnya menjadi alarm bagi perusahaan untuk membenahi kebijakan-kebijakan yang sudah out of date. 

Dunia kerja saat ini mulai dimasuki oleh anak-anak generasi milenial dan generasi Z yang notabenenya lebih vokal terhadap isu-isu kesetaraan. Kebijakan perusahaan yang inklusif, supportif dan peduli pada kebutuhan serta kondisi pekerjanya, termasuk pemberian hak cuti haid, tentu dapat menarik minat talenta-talenta baru untuk bergabung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun