3. Mengedepankan baik sangka
Diriwayatkan oleh para ulama bahwa Nabi menetapkan hukum bagi mereka yang meninggalkan salat karena tidur atau lupa dengan meng-qadha salat. Meski para ulama menyakini dan mengamalkan hadis ini secara tekstual, ulama mazhab 4 sunni muktamad sepakat bahwa qadha diwajibkan bagi mereka yang meninggalkan salat dengan alasan apapun, baik yang tidak disengaja (tertidur atau lupa) maupun yang disengaja.
Sebagai ibadah wajib, idealnya seorang muslim tidak mungkin meninggalkan salat. Kalau pun meninggalkan, itu karena ketidaksengajaan. Begitulah Nabi mengajarkan Islam dengan berprasangka baik.
4. Tidak membalas laknat dengan laknat
Dikisahkan dalam riwayat Al-Bukhari bab al-Isti'dzan, seorang Yahudi datang ke rumah Nabi dan berucap, "kecelakaan bagimu, Muhammad". Mendengar suaminya dicela, Sayyidah Aisyah marah dan membalas, "bagimu juga kecelakaan dan laknat Tuhan".
Namun, Nabi malah bersikap tenang dan mengingatkan Aisyah untuk tidak marah serta melaknat orang Yahudi tersebut karena Allah mencintai kelemahlembutan dalam segala perkara.
5. Tidak menebar murka
Ketika Nabi mendakwahkan Islam kepada para raja, seperti Muqauqis (penguasa Mesir), Hiraqi (Raja Rum), Kisra (petinggi Persia), al-Mundzir (penguasa Bahrain), An-Najasyi (Raja Habasyah/Ethiopia), Nabi tidak menebarkan murka, melaknat dan menghakimi mereka sebagai raja yang zalim.Â
Surat-surat Nabi kepada mereka juga selalu dibuka dengan salam penghormatan atas kedudukan mereka sebagai penguasa. Kata-kata yang digunakan pun santun, sama sekali tidak menunjukkan permusuhan.
Tentu saja masih banyak lagi contoh akhlak Nabi dalam berdakwah yang kalau dituliskan dalam artikel ini, saya yakin tidak akan cukup. Intinya adalah Nabi menyampaikan ajaran Islam melalui nasihat, keteladanan yang baik bahkan dengan bertukar pikiran atau diskusi.
Terhadap mereka yang berbeda agama, Rasulullah mengajarkan kita untuk bertoleransi. Piagam Madinah menjadi salah satu bukti bahwa Rasulullah pun menghormati hak-hak hidup orang non-muslim.