Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunaseptalisa5@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Mewujudkan Transformasi Digital yang Lebih Inklusif

31 Maret 2022   09:45 Diperbarui: 1 April 2022   18:00 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
iilustrasi kesetaraan gender dalam dunia digital-photo by thisisengineering from pexels.com

Salah satu efek dari pandemi Covid-19 adalah terjadinya disrupsi teknologi. Banyak kegiatan yang dulu biasa dilakukan secara tatap muka, beralih menjadi virtual atau daring, seperti sekolah, belanja, bekerja hingga menonton konser musik.

Transformasi digital menjadi salah satu dari tiga isu utama selain kesehatan global dan energi berkelanjutan, yang akan dibahas dalam pertemuan G-20 2022. Pertemuan G-20 tahun ini akan berfokus pada pemulihan global pasca pandemi Covid-19 dengan mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger".

Pandemi Covid-19 turut membantu akselerasi digital di Indonesia. Masyarakat yang sebelumnya jarang atau tidak terbiasa berinteraksi dengan teknologi, kini mulai akrab dan memanfaatkan teknologi untuk berbagai keperluan.

Namun, secepat apapun transformasi digital terjadi dan secanggih apapun teknologi berkembang, ia masih menyisakan beberapa masalah yang tidak boleh diabaikan. Salah satunya adalah teknologi atau dunia digital yang masih bias gender.

Bias Gender dalam Teknologi

"Teknologi by default tidak pernah netral. Di balik penciptaan dan pengembangannya, terdapat developer dan desainer teknologi yang merupakan laki-laki, kulit putih dan able bodied." 
(Dhyta Caturani, feminis dan aktivis keamanan siber)

Pernahkah Anda mencoba mengetikkan kalimat di Google Translate (terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris), seperti "Dia/Ia adalah seorangi lmuwan", "Dia/Ia adalah seorang CEO" atau "Dia/Ia adalah seorang insinyur"? Jika ya, bagaimana terjemahannya?

Bandingkan hasil terjemahan kalimat-kalimat tersebut dengan terjemahan (masih dalam bahasa Indonesia ke bahasa Inggris) dari kalimat berikut: "Dia/Ia adalah seorang perawat", "Dia/Ia adalah seorang pengasuh anak" atau "Dia/Ia adalah seorang guru TK".

Mungkin Anda akan berpikir bahwa itu hanya masalah bahasa, di mana dalam bahasa Indonesia, kata "Dia" atau "Ia" bersifat netral gender sehingga dapat merujuk pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan kata "ia" dapat pula merujuk pada binatang, tumbuhan atau benda.

Sementara dalam bahasa Inggris, kita mengenal kata ganti "he" untuk menyebut "dia (laki-laki)" dan "she" untuk menyebut "dia (perempuan)". 

Namun, kalau diperhatikan lagi, mengapa lebih banyak pekerjaan lapangan, laboratorium atau berhubungan dengan teknologi, yang dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki (ditandai dengan penggunaan kata ganti "he" dalam terjemahan bahasa Inggris)?

Contoh bias gender dalam teknologi lainnya adalah teknologi period tracker yang digunakan untuk memonitor siklus menstruasi. Alih-alih berfungsi untuk memonitor kesehatan reproduksi perempuan, aplikasi ini malah dibuat dengan asumsi yang bias gender, bahwa mau atau tidak mau, perempuan pasti akan hamil. Padahal tidak semua perempuan mau atau mampu hamil.

Kurangnya Representasi Perempuan dalam Bidang STEM

ilustrasi kurangnya perempuan pendiri startup teknologi-photo by Mikhail Nilov from pexels.com
ilustrasi kurangnya perempuan pendiri startup teknologi-photo by Mikhail Nilov from pexels.com

Produk teknologi yang bias gender merupakan akibat dari kurangnya representasi perempuan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematic).

Di ranah akademik, jumlah peserta didik perempuan dalam bidang STEM hanya sedikit. Jumlah ini terus menurun dari jenjang sekolah menengah, perguruan tinggi hingga laboratorium.

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, SMK yang berbasis STEM di Indonesia hanya memiliki 2% murid perempuan. Sementara laporan Strait Times menyebut, dari 10 murid SMK di Indonesia, hanya 4 orang yang merupakan murid perempuan.

Di perguruan tinggi, fakultas teknik selalu dianggap sebagai fakultas yang "laki banget", terutama teknik sipil, mesin, geologi, pertambangan dan perminyakan. Jumlah mahasiswa perempuan dalam satu kelas di jurusan-jurusan tersebut bahkan bisa dihitung dengan jari.

Masih banyak anak perempuan yang terhalang izin orangtua ketika ingin kuliah di fakultas teknik hanya karena mereka anak perempuan. Mereka disuruh untuk memilih fakultas/jurusan lain yang dirasa "lebih cocok untuk anak perempuan", seperti kedokteran, ilmu keperawatan, akuntansi, dan lain-lain.

Di tingkat global, representasi angkatan kerja perempuan dalam bidang STEM tidak kalah mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan UNICEF 2020, perempuan hanya mengisi sekitar 40% dari angkatan kerja di bidang STEM di 68 negara dan hanya sekitar 28% perempuan profesional yang bekerja di industri teknologi dunia.

Represenrasi perempuan dalam dunia kewirausahaan di bidang STEM juga sama minimnya. Sebanyak 26% perusahaan startup teknologi di Amerika Serikat, hanya ada setidaknya satu pendiri perempuan. Sementara di Eropa, jumlah perempuan pendiri startup teknologi hanya 21%.

Perempuan yang bekerja di bidang STEM juga sering mengalami berbagai hambatan, seperti upah yang rendah padahal beban kerja sama dengan pekerja laki-laki, diragukan kemampuannya hanya karena ia perempuan, tidak mendapat pelatihan atau bimbingan yang memadai sehingga kemampuan teknologinya tidak berkembang maksimal sampai risiko pelecehan dan glass ceiling.

Sejak kecil pun kita hampir tidak pernah ditunjukkan contoh perempuan yang bekerja di bidang STEM. Itu sebabnya jarang, ada anak perempuan yang di masa kecilnya bercita-cita atau minimal berimajinasi menjadi ilmuwan, insinyur, astronot, CEO atau peraih nobel fisika. 

Mengapa Perlu Ada Kesetaraan Gender dalam Dunia Digital?

Pada dasarnya, teknologi itu netral gender. Ia bukan monopoli kaum laki-laki, bukan representasi maskulinitas dan bukan pula kepanjangan tangan budaya patriarki.

Teknologi dan transformasi digital bukan hanya bicara tentang alat, infrastruktur, software, aplikasi atau akses internet. Lebih jauh, ia juga harus memperhatikan aspek-aspek yang mendukung terbentuknya ekosistem digital yang inklusif, seperti tentang hak pekerja digital, keamanan siber, kesetaraan gender, dan sebagainya.

Kesetaraan gender di dunia digital termasuk bagian dari cita-cita global yang tertuang dalam rumusan SDGs tahun 2030. 

Berbagai studi menunjukkan adanya hubungan erat antara pemberdayaan perempuan dalam dunia digital dengan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat di suatu negara. 

Salah satu buktinya adalah adanya para penggerak UMKM yang diinisiasi oleh perempuan atau ibu-ibu untuk menciptakan ketahanan ekonomi keluarga di masa pandemi.

Kemudian, perempuan yang memiliki kemampuan dan tingkat literasi digital yang baik lebih dapat bersaing dalam dunia kerja yang semakin ketat.

Transformasi digital dalam dunia kerja telah membuat beberapa pekerjaan yang dulu biasa dilakukan oleh manusia beralih dilakukan oleh teknologi/mesin. Perempuan menjadi salah satu pihak yang paling rentan kehilangan pekerjaan dengan adanya perubahan tersebut. Tanpa kemampuan dan literasi digital yang mumpuni, sulit bagi mereka untuk bisa bersaing.

Selain itu, kesetaraan gender dalam dunia digital juga penting agar tercipta produk-produk teknologi yang dapat meng-cover kebutuhan dan masalah kaum perempuan maupun kelompok rentan dan marginal lainnya. Hal ini penting agar penciptaan dan pengembangan teknologi tidak lagi hanya menjadi monopoli laki-laki, kulit putih, dan able bodied.

Rujukan : 1, 2

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun