Contoh bias gender dalam teknologi lainnya adalah teknologi period tracker yang digunakan untuk memonitor siklus menstruasi. Alih-alih berfungsi untuk memonitor kesehatan reproduksi perempuan, aplikasi ini malah dibuat dengan asumsi yang bias gender, bahwa mau atau tidak mau, perempuan pasti akan hamil. Padahal tidak semua perempuan mau atau mampu hamil.
Kurangnya Representasi Perempuan dalam Bidang STEM
Produk teknologi yang bias gender merupakan akibat dari kurangnya representasi perempuan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematic).
Di ranah akademik, jumlah peserta didik perempuan dalam bidang STEM hanya sedikit. Jumlah ini terus menurun dari jenjang sekolah menengah, perguruan tinggi hingga laboratorium.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, SMK yang berbasis STEM di Indonesia hanya memiliki 2% murid perempuan. Sementara laporan Strait Times menyebut, dari 10 murid SMK di Indonesia, hanya 4 orang yang merupakan murid perempuan.
Di perguruan tinggi, fakultas teknik selalu dianggap sebagai fakultas yang "laki banget", terutama teknik sipil, mesin, geologi, pertambangan dan perminyakan. Jumlah mahasiswa perempuan dalam satu kelas di jurusan-jurusan tersebut bahkan bisa dihitung dengan jari.
Masih banyak anak perempuan yang terhalang izin orangtua ketika ingin kuliah di fakultas teknik hanya karena mereka anak perempuan. Mereka disuruh untuk memilih fakultas/jurusan lain yang dirasa "lebih cocok untuk anak perempuan", seperti kedokteran, ilmu keperawatan, akuntansi, dan lain-lain.
Di tingkat global, representasi angkatan kerja perempuan dalam bidang STEM tidak kalah mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan UNICEF 2020, perempuan hanya mengisi sekitar 40% dari angkatan kerja di bidang STEM di 68 negara dan hanya sekitar 28% perempuan profesional yang bekerja di industri teknologi dunia.
Represenrasi perempuan dalam dunia kewirausahaan di bidang STEM juga sama minimnya. Sebanyak 26% perusahaan startup teknologi di Amerika Serikat, hanya ada setidaknya satu pendiri perempuan. Sementara di Eropa, jumlah perempuan pendiri startup teknologi hanya 21%.
Perempuan yang bekerja di bidang STEM juga sering mengalami berbagai hambatan, seperti upah yang rendah padahal beban kerja sama dengan pekerja laki-laki, diragukan kemampuannya hanya karena ia perempuan, tidak mendapat pelatihan atau bimbingan yang memadai sehingga kemampuan teknologinya tidak berkembang maksimal sampai risiko pelecehan dan glass ceiling.
Sejak kecil pun kita hampir tidak pernah ditunjukkan contoh perempuan yang bekerja di bidang STEM. Itu sebabnya jarang, ada anak perempuan yang di masa kecilnya bercita-cita atau minimal berimajinasi menjadi ilmuwan, insinyur, astronot, CEO atau peraih nobel fisika.Â