Menjadi pekerja digital adalah pilihan yang lazim dijalani oleh beberapa orang, terutama anak muda masa kini, baik hanya sebagai pekerjaan sampingan maupun utama.
Content writer, video editor, social media specialist, UI/UX designer dan sebagainya adalah sederet contoh pekerjaan di bidang digital yang mulai dilirik dan digeluti.
Bekerja di bidang digital kerap diidentikkan dengan jam kerjanya yang fleksibel sehingga pekerja dapat mengatur sendiri waktu untuk melakukan pekerjaannya. Mereka tidak terikat pada hari dan jam kerja tertentu sebagaimana halnya pekerja kantoran.
Selain waktu, mereka juga bebas berkerja dari mana saya atau remotework. Mereka bisa melakukannya sambil ngopi-ngopi cantik di kafe, sambil staycation di hotel atau cukup bekerja di rumah saja.
Beberapa pekerja digital bahkan bisa meraup bayaran lebih tinggi dari pekerja kantoran. Apalagi bagi mereka yang kerja global dan dibayar dengan dolar.
Bebas, fleksibel dan dibayar mahal pula. Siapa yang tidak senang? Namun, tahukah Anda bahwa di balik narasi-narasi indah tentang menjadi pekerja digital, ternyata menyimpan beberapa sisi gelap? Mari kita ulas satu per satu.
Pertama, jam kerja yang lebih panjang
Jam kerja pekerja digital memang tidak seperti pegawai kantoran atau PNS yang bekerja dari Senin-Jumat dengan jam kerja 8 to 4 atau 9 to 5 per hari.Â
Namun, jam kerja yang fleksibel ini bisa jadi lebih panjang bahkan hampir seharian untuk menyelesaikan satu pekerjaan atau project. Ketika pekerja kantoran bisa libur di akhir pekan, pekerja digital seringkali masih harus bekerja untuk memenuhi permintaan klien yang bisa datang kapan saja.
Kedua, tidak ada standar upah yang jelas
Jika standar gaji untuk pekerja kantoran ditentukan berdasarkan UMR, standar upah yang layak untuk pekerja digital masih belum jelas parameternya. Apakah ditentukan berdasarkan lamanya waktu pengerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan, pengalaman pekerja atau ada parameter lain yang dijadikan dasar?
Sulitnya menentukan upah yang layak untuk pekerja digital membuat mereka kadang mendapat bayaran yang tidak manusiawi.
Bagi mereka yang bekerja sebagai desainer grafis, misalnya, sudah buat desain susah-susah sampai begadang, sedikit-sedikit disuruh revisi tapi malah diminta balik lagi ke desain awal, giliran nego harga si klien minta "harga teman" hanya karena sudah kenal akrab.
Ada pula yang kadang bersikap meremehkan seperti, "Kan kamu gambar pakai komputer/laptop. Bukan gambar manual. Kok mahal?" atau "Ah, cuma logo begini doang kok mahal!"
Padahal pakai bantuan teknologi pun tetap ada teknisnya sendiri yang tidak semua orang paham.
Pekerjaan desain itu termasuk pekerjaan seni. Jadi, sebenarnya yang kita hargai dalam bentuk materi (uang) bukan hanya hasil karyanya melainkan juga kreativitas dan idenya.
Bisa jadi di balik desain logo atau apa pun yang terlihat sederhana dan cuma gitu doang-menurut orang awam-sebenarnya punya filosofi mendalam. Kita saja yang tidak tahu kalau untuk menemukan inspirasi itu si desainer (barangkali) sampai jumpalitan.
Ketiga, tidak ada payung hukum yang mengatur hak dan kewajiban pekerja digital
Di balik gemerlap ekonomi digital dan narasi-narasinya yang tampak menjanjikan, pekerja digital juga rawan dieksploitasi.
Dilansir dari situs resmi ILO (11/05/2021), Armeilia Handayani, Staf Advokasi Trade Union Rights Center (TURC) berpendapat bahwa kemitraan antara pekerja digital dan pemilik pelantar digital telah menempatkan pekerja digital pada posisi yang rawan karena sulitnya akses akan hak-hak pekerja, seperti upah minimum, cuti berbayar, uang pesangon, lingkungan kerja yang layak dan sistem perlindungan sosial.
Ketiadaan perlindungan sosial yang memadai bagi pekerja digital akan menjadi lebih buruk ketika pekerjaan itu merupakan pekerjaan utamanya (tidak punya pekerjaan sampingan lain), terutama yang berkaitan dengan dana pensiun.
Akibatnya, pekerja digital harus bekerja dengan jam kerja yang panjang tetapi tidak mendapatkan upah yang layak.
Tidak adanya kontrak kerja yang jelas juga membuat pekerja digital mudah kehilangan pekerjaan dan digantikan oleh orang lain.
Pekerja digital seperti driver ojek online (ojol), termasuk yang rentan mengalami eksploitasi semacam itu.
Kinerja mereka dinilai berdasarkan penilaian pelanggan melalui sistem rating (bintang 1-5) sehingga kadang mereka enggan menolak permintaan pelanggan. Masalahnya, Â permintaan pelanggan ini kadang-kadang tidak tahu diri bahkan dapat membahayakan driver ojol sendiri, seperti diminta mengantarkan barang yang terlalu berat atau besar untuk diangkut dengan sepeda motor, jarak yang terlalu jauh dan sebagainya.
Keempat, modal yang diperlukan untuk menjadi pekerja digital cukup mahal
Seorang pekerja digital minimal harus punya laptop/komputer dan/atau smartphone dengan spesifikasi yang dapat menunjang pekerjaan mereka. Beberapa pekerjaan bahkan ada yang membutuhkan kamera atau peralatan lain sebagai pendukung.
Selain perangkat elektronik, mereka pasti membutuhkan koneksi internet yang lancar dan listrik untuk dapat menjalankan pekerjaannya.
Karena barang-barang tersebut biasanya adalah milik sendiri, jika terjadi kerusakan, tentu si pekerja sendiri yang menanggung biaya perbaikan dan perawatannya.
Penutup
Di balik gemerlap pekerjaan di dunia digital yang sering digembar-gemborkan, ternyata ada sisi gelap yang luput dari perhatian kita.
Menjadi pekerja digital tidak selalu seindah yang dibayangkan.Â
Jam kerja yang katanya fleksibel ternyata masih memiliki celah untuk terjadinya eksploitasi sehingga jam kerja bisa menjadi lebih panjang dengan pemberian upah yang begitu rendah. Persis seperti buruh pabrik yang diperas tenaganya bahkan melebihi ketentuan total jam kerja per hari atau minggu, mendapat upah di bawah standar UMR dan lembur tapi tidak dibayar.
Penghasilan pekerja digital juga bukan penghasilan tetap yang mudah diprediksi seperti penghasilan pekerja kantoran atau PNS. Â Hal ini ditambah dengan lemahnya regulasi dan sistem perlindungan sosial sehingga kesejahteraan hidup saat ini maupun di masa depan masih menjadi pertanyaan besar yang menghantui pekerja digital.
Kondisi lingkungan kerja yang berbeda dengan pekerjaan konvensional bukan alasan untuk mengabaikan hak-hak mereka. Jika hak-hak mereka tidak diperhatikan, bukan tidak mungkin Revolusi Industri 4.0. akan melahirkan perbudakan gaya baru.
Rujukan lain : 1
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI