Bagi mereka yang bekerja sebagai desainer grafis, misalnya, sudah buat desain susah-susah sampai begadang, sedikit-sedikit disuruh revisi tapi malah diminta balik lagi ke desain awal, giliran nego harga si klien minta "harga teman" hanya karena sudah kenal akrab.
Ada pula yang kadang bersikap meremehkan seperti, "Kan kamu gambar pakai komputer/laptop. Bukan gambar manual. Kok mahal?" atau "Ah, cuma logo begini doang kok mahal!"
Padahal pakai bantuan teknologi pun tetap ada teknisnya sendiri yang tidak semua orang paham.
Pekerjaan desain itu termasuk pekerjaan seni. Jadi, sebenarnya yang kita hargai dalam bentuk materi (uang) bukan hanya hasil karyanya melainkan juga kreativitas dan idenya.
Bisa jadi di balik desain logo atau apa pun yang terlihat sederhana dan cuma gitu doang-menurut orang awam-sebenarnya punya filosofi mendalam. Kita saja yang tidak tahu kalau untuk menemukan inspirasi itu si desainer (barangkali) sampai jumpalitan.
Ketiga, tidak ada payung hukum yang mengatur hak dan kewajiban pekerja digital
Di balik gemerlap ekonomi digital dan narasi-narasinya yang tampak menjanjikan, pekerja digital juga rawan dieksploitasi.
Dilansir dari situs resmi ILO (11/05/2021), Armeilia Handayani, Staf Advokasi Trade Union Rights Center (TURC) berpendapat bahwa kemitraan antara pekerja digital dan pemilik pelantar digital telah menempatkan pekerja digital pada posisi yang rawan karena sulitnya akses akan hak-hak pekerja, seperti upah minimum, cuti berbayar, uang pesangon, lingkungan kerja yang layak dan sistem perlindungan sosial.
Ketiadaan perlindungan sosial yang memadai bagi pekerja digital akan menjadi lebih buruk ketika pekerjaan itu merupakan pekerjaan utamanya (tidak punya pekerjaan sampingan lain), terutama yang berkaitan dengan dana pensiun.
Akibatnya, pekerja digital harus bekerja dengan jam kerja yang panjang tetapi tidak mendapatkan upah yang layak.
Tidak adanya kontrak kerja yang jelas juga membuat pekerja digital mudah kehilangan pekerjaan dan digantikan oleh orang lain.
Pekerja digital seperti driver ojek online (ojol), termasuk yang rentan mengalami eksploitasi semacam itu.