Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengulik Sejarah dan Alasan Indonesia Masih Bergantung pada Impor Kedelai

26 Februari 2022   15:03 Diperbarui: 27 Februari 2022   20:45 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengulis sejarah dan alasan Indonesia masih bergantung pada impor kedelai. Foto: Kompas.com/Totok Wijayanto

Kedelai merupakan komoditas pertanian yang keberadaannya begitu penting bagi masyarakat Indonesia. Naiknya harga kedelai menuai reaksi dari para perajin tahu dan tempe dengan merencanakan aksi mogok selama 3 hari berturut-turut pada tanggal 21-23 Februari 2022.

Dilansir dari kompas.com (24/02/2022), berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Perdagangan, kenaikan harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 sudah menyentuh angka 15,77 dolar AS per bushel atau Rp 11.240 per kg. Akibatnya, harga bahan pangan yang berbahan dasar kedelai, seperti tahu dan tempe turut mengalami kenaikan bahkan kelangkaan.

Tahu dan tempe sendiri merupakan makanan rakyat yang hampir selalu ada di meja makan, baik sebagai lauk maupun camilan. Sayangnya, kebutuhan kedelai nasional sebagian besar bergantung pada impor dari luar negeri.

Meskipun impor merupakan hal yang wajar dilakukan oleh sebuah negara, ketergantungan pada impor jadi tampak ironis bagi negara agraris seperti Indonesia. Seolah-olah impor adalah jalan pintas dan satu-satunya.

Lalu, sejak kapan Indonesia mulai bergantung pada impor kedelai? Apa sebenarnya masalah utama dari produksi kedelai di tanah air?

Sejarah impor kedelai Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak negara ini masih bernama Hindia Belanda. Pada tahun 1920-an Hindia Belanda menjadi salah satu pengimpor kedelai terbesar di dunia.

Di masa itu, pasokan kedelai lokal Hindia Belanda paling banyak dipenuhi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah ini, para perajin tahu dan tempe lebih banyak menggunakan kedelai lokal. Sementara di daerah yang lahan pertanian kedelainya lebih sedikit, seperti Jawa Barat, lebih memilih menggunakan kedelai impor.

Impor kedelai baru menurun ketika memasuki masa kemerdekaan. Produksi tempe pun turut menurun hingga era Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno.

Pada tahun 1972 Indonesia kembali mengimpor kedelai sebanyak 183 ton. Jumlah ini relatif lebih kecil daripada produksi dalam negeri yang mencapai 518.229 ton. Dengan kebutuhan 515.357 ton untuk 131 juta penduduk, Indonesia masih mengalami surplus kedelai sehingga mampu mengeskpor 3.055 ton kedelai.

Memasuki tahun 1976, tingkat konsumsi kedelai nasional naik hingga 692.969 ton. Nilai produksi juga mengalami kenaikan hingga 521.777 ton. Namun, kenaikan ini tidak sebanding dengan kebutuhan sehingga terjadi defisit konsumsi.

Untuk mengatasi keadaan tersebut, Badan Urusan Logistik (BULOG), sebagai institusi yang memegang monopoli impor kedelai berusaha menjaga harga kedelai lokal agar bisa bersaing dengan kedelai impor. Namun, dalam hal penentuan harga, BULOG pun tidak berdaya menghadapi tekanan hukum permintaan dan penawaran. Akibatnya, harga kedelai impor selalu lebih rendah dari kedelai lokal.

Selama periode 1970-1990, ada gap yang signifikan antara data pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai nasional dengan angka konsumsi selalu lebih tinggi dari angka produksi. Puncaknya terjadi pada 1998, di mana terjadi penurunan konsumsi kedelai karena turunnya ketersediaan kedelai impor.

Di tahun 1998 pula, pemerintah mengakhiri monopoli impor kedelai oleh BULOG, berdasarkan kesepakatan dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LOI). Sejak saat itulah, penentuan jumlah impor kedelai dilakukan oleh swasta melalui mekanisme perdagangan bebas.

Mampukah Indonesia Lepas dari Ketergantungan Impor Kedelai?

Hampir tidak ada satu negara pun bisa lepas dari impor, termasuk negara-negara maju.  

Impor dilakukan karena suatu negara tidak dapat menyuplai atau memenuhi-baik  melalui proses produksi, tambang atau tanam sendiri-barang atau jasa yang dibutuhkan.

Sejarah dan alasan Indonesia masih impor kedelai-Eusebio Chrysnamurti diunduh dari ekonomi.bisnis.com
Sejarah dan alasan Indonesia masih impor kedelai-Eusebio Chrysnamurti diunduh dari ekonomi.bisnis.com

Suatu negara bisa saja tidak melakukan impor apa pun. Namun, biaya produksi yang dikeluarkan bisa jadi sangat mahal. Itu sebabnya impor diperlukan untuk menjamin kebutuhan barang dan jasa bagi masyarakat dengan harga yang lebih terjangkau dan efisien.

Impor memang tidak selalu buruk. Namun, ketergantungan pada impor juga punya efek jangka panjang yang kurang baik bagi perekonomian, seperti mematikan industri kecil, memunculkan persaingan bisnis yang tidak sehat, penjajahan ekonomi oleh negara lain dan sebagainya.

Berbagai pihak memberi "lampu merah" atas impor kedelai Indonesia yang kini telah mencapai 86,4%. Dikutip dari katadata.com, BPS mencatat hingga tahun 2020 jumlah impor kedelai mencapai 2,48 juta ton atau senilai US$ 1 miliar.

Rendahnya produksi kedelai lokal kerap disebut sebagai penyebab ketergantungan pada kedelai impor. Hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan berbagai faktor yang cukup kompleks. Salah satunya adalah luas lahan panen kedelai yang terus menyusut akibat alih fungsi lahan ke sektor non-pertanian.

Luas lahan panen kedelai terus mengalami penyusutan dari 660,8 ribu hektar di tahun 2010 menjadi tinggal 285,3 ribu hektar pada 2019. Padahal menurut pemerintah, rata-rata kebutuhan kedelai nasional antara 2-3 juta ton per tahun. Sementara untuk memenuhi kebutuhan tersebut, setidaknya dibutuhkan lahan seluas 2,5 juta hektar.

Biaya produksi yang tinggi, harga yang tidak kompetitif dan keuntungan yang kecil, membuat petani kurang tertarik menanam kedelai.

Dibandingkan dengan tanaman pangan lain, seperti padi dan jagung, nilai keuntungan pertanian kedelai hanya sekitar Rp 1,2 juta per musim tanam per hektar. Angka ini lebih kecil dari nilai keuntungan pertanian jagung yang mencapai sekitar Rp 4,1 juta per musim tanam per hektar dan Rp 4,9 juta per musim tanam per hektar untuk padi sawah. Alhasil, kedelai hanya diposisikan sebagai tanaman selingan setelah tanaman utama, seperti padi, jagung, tebu, tembakau, bawang merah dan lain-lain.

Penutup

Sebagai salah satu negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia, pemerintah perlu memikirkan langkah-langkah untuk mencapai swasembada kedelai. Hal ini diperlukan agar produktivitas kedelai lokal dapat bersaing dengan kedelai impor dan mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional.

Selain itu, perlu diperkenalkan juga alternatif bahan baku lain selain kedelai (terutama kedelai kuning) untuk pembuatan tahu atau tempe, seperti kacang koro, edamame dan sebagainya. Bahkan kedelai hitam yang kini lebih populer sebagai bahan baku pembuatan kecap pun bisa dijadikan alternatif yang baik.

Rujukan lain : 1, 2, 3

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun