Sejak masuk usia sekolah, saya dan mungkin juga Anda, sudah didoktrin bahwa anak cerdas adalah mereka yang pintar matematika, fisika, dan ilmu-ilmu eksak yang njelimet-njelimet itu. Sementara anak-anak yang pintar di bidang atau mata pelajaran lain, seperti ilmu-ilmu sosial, seni budaya atau olahraga tapi nilai matematikanya jelek, justru dianggap bodoh.
Padahal jenis kecerdasan sendiri ada bermacam-macam. Ada kecerdasan logis-matematik, verbal-linguistik , musik, kinestetik-jasmani, naturalis, intrapersonal, interpersonal, visual-spasial dan eksistensial. Orang yang tidak pandai di suatu bidang bisa jadi lebih pandai pada bidang lain.
Dengan demikian, stereotipe bahwa anak IPA lebih pintar dari anak IPS jelas tidak tepat. Perbandingannya tidak apple to apple.
Jika anak IPA belajar tentang sistem pencernaan, pernafasan, peredaran darah dan sistem-sistem lain dalam tubuh manusia berikut dengan nama latinnya, anak IPS belajar tentang sistem ekonomi berikut masing-masing karakteristiknya.
Jika anak IPA harus belajar limit aljabar dan trigonometri, anak IPS cukup belajar limit aljabar saja.
Dengan contoh perbedaan ini, bagaimana bisa kita mengatakan bahwa anak IPA lebih pintar dari anak IPS?
Penutup
Sebagai mantan pelajar, saya berharap agar kurikulum merdeka benar-benar membuat siswa merdeka dalam belajar dan memilih apa yang ingin mereka pelajari.Â
Dengan begitulah mereka akan belajar untuk memahami minat, potensi diri dan apa yang mereka butuhkan agar potensi tersebut lebih terasah.
Dihapuskannya program penjurusan di SMA, seharusnya bisa dipandang sebagai langkah yang baik untuk menghapus stereotipe anak IPA dan IPS yang sudah outdated itu.Â
Setidaknya para siswa SMA bisa bernafas lega karena tidak harus menuruti ambisi orangtua egois yang suka memaksa anaknya untuk masuk IPA.
Zaman sudah berubah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih. Permasalahan kehidupan, baik di lingkup personal maupun global semakin kompleks.Â