Stigma dan stereotipe inilah yang kemudian berkembang luas di masyarakat sehingga menyulitkan mereka untuk memperoleh kesetraan dan hak-hak dasar, seperti pendidikan dan pekerjaan yang layak. Padahal amanah konstitusi kita adalah setiap warga negara berhak untuk merasa aman dan terlindungi dari segala bentuk diskriminasi.
Penyebab kedua adalah kepentingan ekonomi-politik media.Â
Sejak menjamurnya media daring, media dipaksa 'tunduk' pada SEO (Search Engine Optimization) agar bisa tetap eksis dan bertahan. Jika tidak demikian, sebagus apa pun tulisan yang ditayangkan, akan sulit mendapat banyak pembaca.
Sebaliknya, tulisan yang memenuhi kaidah SEO akan lebih mudah mendapat banyak pembaca meski kualitasnya memprihatinkan, banyak kesalahan ketik (saltik), penulisan tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan bahkan menggunakan kata-kata kunci yang berorientasi clickbait.
Akibatnya, media daring berlomba-lomba menempatkan produk jurnalismenya pada posisi teratas halaman pertama mesin pencari untuk mendulang traffic dan cuan. Oleh karena itu, beberapa media menghindar dari memberitakan suatu konflik sosial, budaya, ekonomi, politik atau agama yang korbannya adalah kelompok marginal karena khawatir akan berdampak pada kondisi ekonomi medianya.
Dalam konteks politik juga sama. Media, terutama media penyiaran, seringkali digunakan pula sebagai alat politik dan propaganda oleh penguasa atau partai politik tertentu. Kepentingan politik pemilik media dengan elit politik tertentu seringkali mempengaruhi konten berita yang ditayangkan sehingga dapat memunculkan polarisasi politik.Â
Penutup
Minimnya representasi kelompok marginal di media dapat membuat masyarakat terjebak pada stigma dan stereotipe sehingga cenderung lebih mudah menghakimi dan bersikap diskriminatif.Â
Media seharusnya mampu memberikan ruang aman bagi kelompok marginal untuk bersuara sehingga masyarakat lebih teredukasi, mampu menghargai keberagaman dan memandang isu terkait kelompok tersebut dari perspektif yang berbeda.Â
Selain itu, memberi ruang bersuara bagi kelompok marginal sama saja dengan memberi mereka kesempatan untuk merepresentasikan dirinya sebagai manusia utuh. Dengan demikian, mereka seharusnya tidak lagi dipandang sebagai "liyan" dan terpinggirkan dari masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H