Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keberagaman suku, agama, etnis, gender dan ideologi. Sayangnya, masih banyak media yang belum memberi ruang dan menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme dalam memberitakan isu-isu terkait kelompok marginal.
Dalam mengabarkan isu-isu keberagaman, media cenderung menjadikan kelompok marginal sebagai objek pemberitaan yang lebih mengedepankan sensasi dibandingkan substansi. Hal inilah yang membuat kellompok marginal masih sering dipandang sebagai "liyan".
Penggambaran isu keberagaman juga seringkali disederhanakan menjadi sebatas atribut, simbol dan agenda-agenda seremonial. Padahal ada hal lain yang tidak kalah penting untuk diketahui publik, seperti dinamika sosial dalam kelompok marginal, tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan eksistensi dan memperoleh hak-hak dasar dan sebagainya.
Ketika ada konflik yang melibatkan kelompok marginal, media lebih banyak menghadirkan suara para elit, seperti pejabat publik, aparat, tokoh-tokoh agama dari organisasi keagamaan mayoritas dan lain-lain sebagai narasumber.Â
Sementara suara dan pandangan dari kelompok marginal yang mengalami diskriminasi, intimidasi dan persekusi masih kurang dihadirkan. Akibatnya pemahaman dan sudut pandang masyarakat tentang konflik atau kelompok tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh perspektif para elit.
Belum lagi pelabelan negatif yang disematkan kepada mereka, seperti melabeli penganut aliran agama dan kepercayaan tertentu sebagai sesat, kafir atau ancaman, justru semakin menyuburkan prasangka dan kebencian.
Ada dua sebab utama minimnya representasi kelompok marginal di media. Pertama, perspektif media terhadap kelompok marginal yang cenderung negatif sejak awal.
Mereka yang tidak pernah mengenal atau berinteraksi dengan kelompok marginal secara langsung tentu memiliki pemahaman yang terbatas tentang kelompok ini. Informasi dan pengetahuan tentang kelompok marginal lebih banyak diperoleh dari bahan bacaan atau tayangan yang seringkali bersifat diskriminatif dan stereotipikal.Â
Sementara informasi yang menampilkan sisi lain (yang tidak stereotipikal atau sensasional) dari kelompok marginal cenderung kurang populer atau jarang diangkat oleh media.
Misalnya, pemberitaan tentang kelompok LGBT yang lebih didominasi oleh berita razia dan penangkapan transgender di tempat hiburan malam atau lokasi prostitusi dibandingkan berita tentang transpuan yang bisa mendapatkan posisi strategis di lembaga pemerintahan dan menjadi guru di sebuah sekolah.
Saya memahami bahwa isu LGBT merupakan isu sensitif yang tidak semua orang sepakat atau bisa menerima keberadaan mereka. Namun, pembingkaian (framing) media yang cenderung stereotipikal membuat mereka lebih sering diasosiasikan sebagai pelaku kriminalitas, bertentangan dengan agama dan ideologi negara, penyakit masyarakat, sumber penyebaran HIV AIDS bahkan sumber bencana---sebagaimana yang terjadi ketika bencana gempa dan tsunami Palu 2018 silam---membuat mereka rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan.Â