Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ibu Pekerja dan Narasi tentang Pemberdayaan Perempuan yang Lupa pada Akar Masalahnya

24 Desember 2021   17:41 Diperbarui: 25 Desember 2021   02:35 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu pekerja. Photo by Anastasia Shuraeva from pexels.com

Sebelumnya izinkan saya untuk mengucapkan Selamat Hari Ibu kepada seluruh ibu dan perempuan hebat di mana pun. Menjadi ibu bukan hanya tentang mengandung dan melahirkan, tapi juga merawat, menjaga, membesarkan dan mendidik dengan cinta dan kasih sayang.

*** 

Pernah tidak Anda bertanya, kenapa sih harus ada perdebatan antara menjadi ibu pekerja vs ibu rumah tangga? Memangnya ibu pekerja bukan ibu yang baik, ya? Padahal kan dua-duanya sama-sama keren dengan caranya masing-masing.

Hal pertama yang perlu kita sepakati bersama adalah tidak peduli apakah ia seorang ibu pekerja atau ibu rumah tangga, keduanya adalah full-time mom.

Sebagai pekerja, orang akan mengalami pensiun di usia tertentu. 

Namun sebagai ibu, tidak pernah ada kata pensiun meskipun anak-anak sudah dewasa, mapan dan punya anak. Seorang perempuan hanya bisa pensiun menjadi ibu ketika kontraknya di dunia sudah habis. 

Sampai sini sepakat ya, ibu-ibu?

Kedua, yang perlu saya tegaskan juga, ibu pekerja tidak sama dengan ibu yang egois.

Ya, masih saja ada yang bertanya, "Perempuan kerja buat apa sih? Udah dinafkahi suami masih ambis aja ngejar karier."

Seolah-olah ibu pekerja lebih sayang pada pekerjaan dibandingkan anak-anaknya

Nyatanya, banyak kok ibu pekerja yang masih sayang anak dan selalu meluangkan waktu untuk anak di sela kesibukannya. Dengan demikian, anggapan bahwa anak-anak yang ibunya bekerja itu kesepian, kurang perhatian dan kasih sayang, hanya mitos belaka.

Ketiga, dan ini yang akan menjadi inti pembahasan dari artikel ini, adalah menjadi perempuan dan ibu pekerja itu berat, saudara-saudara.

Masalah yang Luput Dibahas

Melalui pemikiran Kartini tentang emansipasi, kita jadi punya kesempatan untuk berpendidikan dan bekerja sebagaimana laki-laki. Hampir di semua sektor bisnis dan pemerintahan membuka lowongan kerja bagi perempuan.

Dukungan terhadap perempuan, terutama ibu, untuk bekerja di luar rumah dan di berbagai bidang serta mandiri dan berdaya secara ekonomi, kerap menjadi bagian dari narasi pemberdayaan perempuan (women's empowerment) yang sering kita dengar.

Sebagai perempuan, tentu saya senang ketika perempuan mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasi diri dan mandiri secara finansial dengan bekerja. Hal ini sekaligus menjadi pembuktian bahwa dunia perempuan tidak hanya seputar dapur, sumur, kasur.  

Namun narasi pemberdayaan ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah yang sebenarnya terjadi pada perempuan dan ibu pekerja.  

Masalah-masalah yang Dihadapi Perempuan dan Ibu Pekerja

ilustrasi pekerja domestik, pekerja yang minim perlindungan atas keselamatan kerja-photo by rodnae production from pexels.com
ilustrasi pekerja domestik, pekerja yang minim perlindungan atas keselamatan kerja-photo by rodnae production from pexels.com

Sebuah solusi tidak akan tercipta tanpa mengetahui akar masalahnya.

Perempuan dan ibu pekerja, di berbagai jabatan dan status sosial-ekonomi, punya masalah yang berbeda-beda.

Perempuan dan ibu pekerja dengan jabatan dan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi kerap kesulitan untuk meraih posisi pimpinan puncak atau pengambil keputusan dalam organisasi.

Mereka yang sudah menikah seringkali harus terbentur oleh glass ceiling serta status sebagai istri dan ibu yang membuat mereka dianggap tidak mampu bekerja secara maksimal karena harus mengurus suami dan anak.

Baca: Glass Ceiling Effect : Ketika Potensi dan Cita-Cita Perempuan Terbentur oleh Stereotipe dan Diskriminasi

Ironisnya, fenomena ini juga terjadi di industri yang cewek banget, di mana sebagian besar pekerjanya adalah perempuan (female-dominated industry), produk yang dijual adalah produk perempuan dan konsumennya sebagian besar perempuan.

Pada akhirnya mereka dipaksa untuk memilih antara karier atau keluarga. Dan karier mereka akan tertahan di situ saja.

Perempuan dan ibu pekerja kelas menengah menghadapi masalah, seperti beban ganda.

Meskipun sudah lelah setelah bekerja, perempuan masih dibebani dengan pekerjaan domestik ketika di rumah. 

Akibatnya mereka yang seharusnya bisa istirahat, masih harus mengerjakan tugas bersih-bersih, memasak, mengurus anak dan lain-lain.

Kalau beruntung suami masih bisa diajak kerja sama, masih ada tetangga yang akan 'bisik-bisik' menganggap si istri tidak tahu diri. Seolah-olah laki-laki yang membantu istri mengerjakan pekerjaan domestik itu memalukan dan tidak pantas.

Perempuan dan ibu pekerja dari kelas ekonomi lemah lebih memprihatinkan lagi nasibnya.

Sudah diupah murah (bisa lebih rendah dari UMR), jam kerja panjang (lebih dari 8 jam sehari), keamanan dan keselamatan kerja tidak diperhatikan bahkan hak untuk cuti haid dan hamil tidak diberikan.

Para pekerja domestik, seperti Asisten Rumah Tangga (ART), pengasuh anak, perawat lansia, kebanyakan adalah perempuan karena mereka bisa dibayar murah dan dieksploitasi tenaganya.

Buruh pabrik beberapa industri, seperti tekstil, rata-rata juga perempuan. Mereka sering dibebani dengan pekerjaan berat dan lembur bahkan ketika sedang hamil. Padahal itu membahayakan keselamatan ibu dan janinnya serta berpotensi mengalami keguguran.

Oiya, jangan lupakan pula fakta bahwa perempuan juga sering menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja.

Penyebab

Diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja itu nyata, termasuk masalah upah, yang lebih didasarkan pada gendernya bukan dilihat dari kontribusi, keahlian atau tingkat risiko dan kesulitan pekerjaannya.

Perempuan dalam dunia kerja dipandang hanya sebagai penyokong bukan pencari nafkah utama.

Padahal kenyataannya, ada perempuan-perempuan yang berperan sebagai tulang punggung keluarga, seperti ibu tunggal, istri yang suaminya tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai pencari nafkah atau perempuan lajang yang harus menghidupi orang tua yang sudah tua sementara adik-adiknya masih sekolah.

Kegagalan dalam memahami antara peran biologis dan peran gender membuat perempuan harus menanggung beban ganda. Padahal pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak bukan hanya tugas perempuan.  

Negara kita juga belum memiliki aturan tegas yang mengatur tentang hak dan kewajiban pekerja domestik.

Akibatnya perlindungan terhadap pekerja domestik nyaris tidak ada sehingga memungkinkan bagi majikan untuk berlaku semena-mena.

Dengan posisi tawar yang rendah, mereka juga lebih mudah digantikan oleh orang lain apabila majikan atau pemberi kerja sudah tidak butuh lagi.

Penutup

Menjadi ibu rumah tangga atau pekerja adalah pilihan masing-masing yang harus dihormati.

Narasi tentang pemberdayaan perempuan bukan hanya dilihat dari kuantitas. Bukan hanya soal mendorong atau merekrut pekerja perempuan sebanyak-banyaknya agar terlihat 'memberdayakan'. Lebih dari itu, ia bicara soal kesetaraan, kesejahteraan, keamanan dan keselamatan kerja.

Masalah yang dialami oleh perempuan dan ibu pekerja bisa saja berbeda antara satu dengan yang lain, tergantung posisi atau status sosial-ekonominya. Dan masalah yang berbeda tentu membutuhkan penanganan yang berbeda pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun