Ironisnya, fenomena ini juga terjadi di industri yang cewek banget, di mana sebagian besar pekerjanya adalah perempuan (female-dominated industry), produk yang dijual adalah produk perempuan dan konsumennya sebagian besar perempuan.
Pada akhirnya mereka dipaksa untuk memilih antara karier atau keluarga. Dan karier mereka akan tertahan di situ saja.
Perempuan dan ibu pekerja kelas menengah menghadapi masalah, seperti beban ganda.
Meskipun sudah lelah setelah bekerja, perempuan masih dibebani dengan pekerjaan domestik ketika di rumah.Â
Akibatnya mereka yang seharusnya bisa istirahat, masih harus mengerjakan tugas bersih-bersih, memasak, mengurus anak dan lain-lain.
Kalau beruntung suami masih bisa diajak kerja sama, masih ada tetangga yang akan 'bisik-bisik' menganggap si istri tidak tahu diri. Seolah-olah laki-laki yang membantu istri mengerjakan pekerjaan domestik itu memalukan dan tidak pantas.
Perempuan dan ibu pekerja dari kelas ekonomi lemah lebih memprihatinkan lagi nasibnya.
Sudah diupah murah (bisa lebih rendah dari UMR), jam kerja panjang (lebih dari 8 jam sehari), keamanan dan keselamatan kerja tidak diperhatikan bahkan hak untuk cuti haid dan hamil tidak diberikan.
Para pekerja domestik, seperti Asisten Rumah Tangga (ART), pengasuh anak, perawat lansia, kebanyakan adalah perempuan karena mereka bisa dibayar murah dan dieksploitasi tenaganya.
Buruh pabrik beberapa industri, seperti tekstil, rata-rata juga perempuan. Mereka sering dibebani dengan pekerjaan berat dan lembur bahkan ketika sedang hamil. Padahal itu membahayakan keselamatan ibu dan janinnya serta berpotensi mengalami keguguran.