Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kekerasan Seksual di Pesantren: Penyebab dan Pencegahannya

17 Desember 2021   17:38 Diperbarui: 16 Februari 2022   21:42 4276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi, kasus kekerasan seksual dalam dunia pendidikan kembali menjadi sorotan. Kali ini terjadi pada belasan santriwati sebuah pesantren di Bandung, Jawa Barat.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren seharusnya membuka mata kita bahwa pesantren atau lembaga pendidikan berbasis keagamaan bukanlah tempat suci yang bebas dari tindakan amoral, seperti yang dilakukan oleh Herry Wirawan alias HW.

Siaran pers Komnas Perempuan yang dirilis pada Oktober 2020 lalu menyebutkan bahwa kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan.

Pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Islam menduduki peringkat kedua (dengan persentase 19%) sebagai institusi pendidikan yang paling sering terjadi kekerasan seksual setelah kampus atau perguruan tinggi.

Pelaku kekerasan seksual terbanyak adalah guru atau ustaz (43% atau 22 kasus), dosen (19% atau 10 kasus), kepala sekolah (15% atau 8 kasus), peserta didik lain (11% atau 6 kasus), pelatih (4% atau 2 kasus) dan pihak lain (5% atau 3 kasus).  (sumber: kompas.com)

Mungkin ada di antara Anda yang bertanya-tanya atau sulit percaya, bagaimana bisa di lembaga pendidikan berbasis keagamaan, seperti pesantren, ditemukan kasus kekerasan seksual?

Lalu, mungkinkah pendidikan seks tidak dapat diterima dalam kurikulum pendidikan pesantren?

Mengapa Kekerasan Seksual Dapat Terjadi di Pesantren?

Secara umum, kekerasan seksual, apa pun bentuknya, bisa terjadi dengan adanya relasi kuasa. 

Dalam dunia pendidikan, relasi kuasa bisa terjadi antara guru atau kepala sekolah dengan murid, dosen dengan mahasiswa, murid atau mahasiswa senior dengan junior, murid atau mahasiswa laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

Relasi kuasa memungkinkan pelaku--yang biasanya merupakan orang dengan status sosial, jabatan, pengaruh atau gender yang dianggap lebih superior---untuk melecehkan orang-orang yang kedudukannya dianggap lebih rendah dan lemah, baik secara materi, status maupun fisik. 

Pelaku akan memanfaatkan kuasa tersebut untuk menjebak korban. Bisa dengan mengiming-imingi atau menjanjikan sesuatu, memanipulasi secara emosional, menakut-nakuti, mengancam dan sebagainya, sehingga korban mau melakukan apa saja yang diminta.

Relasi kuasa dalam dunia pendidikan, khususnya pesantren, juga kerap menggunakan otoritas keilmuan dari guru, senior maupun pengurus dan pimpinan pondok pesantren untuk memperdaya korban. Jika tidak menurut, korban ditakut-takuti dan diancam akan terkena azab, hafalan hilang, dan ilmu yang diperoleh tidak berkah.

Korban akan lebih takut lagi jika pelaku bawa-bawa ayat atau hadis. Padahal kalau dipikir-pikir, tidak ada dalil mana pun yang membenarkan tindak pelecehan seksual dari seorang guru kepada santri demi menjaga hafalan atau memperoleh keberkahan ilmu.

Kehidupan komunal di pesantren, ternyata juga menjadi celah bagi santri senior (dengan dalih bercanda) untuk melakukan pelecehan seksual pada adik kelasnya. Bentuk pelecehan itu berupa rabaan pada alat kelamin atau dikenal sebagai 'nyuluh'. 

Selain itu, keterbatasan komunikasi, di mana santri (biasanya) tidak diperkenankan membawa ponsel, dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan aksinya karena tidak mudah untuk diketahui.

Apakah Pendidikan Seks Tidak Dapat Diajarkan di Pesantren?

Pendidikan seks, memang menjadi salah satu kunci untuk mencegah anak jadi korban maupun pelaku pelecehan seksual.

Namun, sebagai institusi pendidikan berbasis Islam, mungkinkah pendidikan seks diajarkan di pesantren?

Mungkin ada yang belum tahu sehingga berpikir bahwa pesantren bersikap tertutup soal pendidikan seks. 

Ternyata, tidak semua pesantren setertutup itu. Pesantren-pesantren yang mengajarkan pendidikan seks rupanya bisa jauh lebih terbuka soal seksualitas dibandingkan sekolah-sekolah pada umumnya (tergantung pesantrennya juga mungkin, ya).

Dikutip dari tirto.id, pendidikan seks dan bab pernikahan merupakan materi yang paling banyak digemari para santri setelah bab muamalah (hubungan antar manusia dalam interaksi sosial).

Mereka mempelajarinya dari sumber-sumber Islam, yaitu Al-Quran, hadis dan kitab-kitab klasik, seperti Kitab Qurrotul Uyun dan Uqudulujain Fi Bayani Huquqiz Zaujain.

Pendidikan seks di pesantren tidak hanya membahas dari aspek fisik, tetapi juga dari segi akidah, ibadah, dan akhlak.

Pendidikan seks juga diajarkan secara bertahap sesuai dengan batasan usia para santrinya.

Misalnya, pada usia remaja (12-15 tahun) diajarkan terlebih dulu bab bersuci sehingga sebelum akil balig mereka sudah paham bagaimana menghadapi masa pubertas yang ditandai dengan mimpi basah bagi santriwan dan menstruasi bagi santriwati, termasuk cara menjaga kebersihan diri dan organ reproduksi. Sementara di usia yang lebih dewasa (16-18 tahun) mereka akan belajar tentang bab pernikahan hingga tata cara dan etika dalam berhubungan suami-istri. 

Apa yang Harus Dilakukan agar Kejadian Serupa Tidak Terulang?

Jika Anda berniat mendaftarkan anak ke pesantren, pilihlah pondok pesantren yang jelas kredibilitasnya, misal Pondok Modern Darussalam Gontor dan Pondok Pesantren Tebuireng di Jawa Timur, Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Ali Maksum Krapyak di Bantul, DI Yogyakarta, Pondok Pesantren Pabelan di Magelang, Jawa Tengah dan masih banyak lagi.

Pondok pesantren yang kredibel memiliki guru-guru, pengasuh atau pimpinan yang rekam jejaknya baik dan jelas sanad keilmuannya.

Mengapa sanad keilmuan penting? Selain untuk menjaga tradisi keilmuan itu sendiri, juga sebagai jaminan bahwa yang bersangkutan tidak akan berbicara atau bertindak tanpa dasar ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sementara mereka yang menggunakan otoritas keilmuan untuk melakukan kekerasan seksual, meskipun mengatasnamakan agama, sanad keilmuannya patut dipertanyakan.

Bahkan dalam administrasi pemerintah, kategori sanad keilmuan sang pimpinan pondok pesantren menjadi salah satu syarat wajib dalam mengajukan legalitas pondok pesantren ke Kementerian Agama (Kemenag).

Bagi pembuat kebijakan, nampaknya penting juga untuk memasukkan aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pesantren atau lembaga pendidikan berbasis keagamaan.

Pemahaman tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual juga penting dimiliki oleh setiap orang di pondok pesantren agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan aman dan tenang.

Rujukan : 1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun