Menurut pengamat ketenagakerjaan, Payaman Simanjuntak, fenomena tersebut tidak akan terjadi di Indonesia karena pekerja yang mengundurkan diri dan pengangguran tidak mendapat jaminan sosial. Selain itu, meski kasus Covid-19 cenderung menurun, dampak perekonomian akibat pandemi belum sepenuhnya pulih.
Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, yang menyebut bahwa di AS peluang pekerja untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan baru terbuka lebar.Â
Sementara di Indonesia peluang untuk mendapatkan pekerjaan baru sangat kecil. Mengundurkan diri tanpa memperoleh pekerjaan baru di tempat lain akan menyulitkan si pekerja sendiri.
Dilema Perempuan Pekerja
Kebijakan untuk kembali bekerja di kantor membuat kita harus kembali bergulat dengan rutinitas di pagi hari.Â
Bangun pagi, mandi, berdandan, mengurus anak (bagi ibu pekerja) adalah rutinitas yang harus kembali dijalani sebelum berangkat ke kantor.
Banyak perempuan pekerja yang harus menjalani beban ganda. Alih-alih bisa rebahan dan bersantai melepas lelah selepas bekerja, mereka masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.
Kondisi ini tidak hanya terjadi ketika mereka bekerja di kantor. Ketika bekerja di rumah pun beban kerja malah bertambah, terutama bagi ibu-ibu yang anaknya masih sekolah. Karena sekolah ditutup selama pandemi dan anak-anak belajar di rumah, ibu-ibu jadi punya tugas tambahan mendampingi dan mengajari anaknya.
Tuntutan pada perempuan untuk harus bisa mengurus semua hal antara kehidupan profesional dan personal, membuat banyak perempuan pekerja mengalami burnout.Â
Hal ini menyebabkan rasio tenaga kerja perempuan yang mengundurkan diri dari pekerjaan selama pandemi (tidak termasuk yang di PHK dan pensiun) lebih tinggi dari tenaga kerja laki-laki. Â
Keputusan untuk mengundurkan diri atau bertahan, seringkali menjadi dilema tersendiri bagi perempuan pekerja. Mau mengundurkan diri, ya, kalau sudah dapat ganti pekerjaan yang lebih baik, kalau belum bagaimana?