"Jangan bisanya cuma kritik. Kasih solusi juga dong!"
Siapa yang kalau dikritik responnya begini? Masih untung kalau yang mengkritik hanya ditagih solusi. Bagaimana kalau sampai berurusan dengan polisi?
"Kritik yang membangun", suatu hal yang juga akrab di telinga kita atau mungkin kita sendiri pernah melontarkannya.
Sayangnya, frasa ini sering disalahgunakan dan dijadikan senjata untuk membungkam kritik.
"Kritik yang membangun" jika ditinjau secara bahasa, sebenarnya merupakan dua hal yang kontradiktif satu sama lain. Kritik bersifat dekonstruktif atau membongkar sedangkan membangun---sesuai namanya---bersifat konstruktif.
Saya mengibaratkan kritik itu seperti pisau bedah yang digunakan untuk membedah, menguliti, membongkar kesalahan, kebobrokan dan apa-apa yang tidak baik dari suatu kebijakan, sistem, argumentasi, kinerja, hasil karya dan sebagainya.
Kalau ada yang protes kenapa yang dibeberkan kok yang jelek-jelek, ya itulah kritik. Tujuannya memang untuk menunjukkan yang jelek atau cacat.
Kalau isinya mengumbar yang baik-baik, namanya bukan kritik lagi. Itu pujian.
Kembali pada kalimat pembuka, apa iya, kritik yang baik harus disertai solusi? Apakah kritik yang tidak disertai solusi berarti kritik yang buruk dan tidak sahih? Apakah kritik yang tajam dan pedas bisa dikatakan sebagai penghinaan, pencemaran nama baik atau pembunuhan karakter?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu tahu seperti apa kritik yang baik terlebih dulu.
Syarat Kritik yang Baik
Pertama, harus kritis dan jelas apa yang dikritik
Syarat utama kritik tentu saja harus kritis dan jelas apa yang mau dikritik agar tepat sasaran dan dapat dipahami.
Apakah yang dikritik adalah kebijakan seorang pemimpin, pemikiran seorang ahli atau akademisi, tulisan seorang penulis, kinerja seorang karyawan dan sebagainya.
Kedua, sajikan data dan fakta di lapangan yang valid dan relevan
Data dan fakta lapangan berguna untuk memperkuat argumen ketika menyampaikan kritik. Hal ini juga dimaksudkan agar kritik yang disampaikan memang berdasarkan bukti nyata, bukan mengada-ada.
Data dan fakta yang disajikan juga disesuaikan dengan apa yang hendak dikritik. Kalau ingin mengkritik tentang deforestasi hutan, sajikan data yang berhubungan dengan hal tersebut, seperti berapa luas hutan yang hilang setiap tahun, penyebabnya, dampaknya secara sosial, ekonomi, ekologis dan sebagainya.Â
Kalau ingin menyampaikan kritik mengenai kisruh K-Reward, ya sampaikan pada admin K keluhan serta bukti pendukungnya atau tulis saja artikel tentang itu.Â
Dengan data dan fakta yang disampaikan inilah kita bisa mengetahui sekaligus menunjukkan di mana letak keburukan atau kekurangan dari apa yang dikritik.
Ketiga, tidak menyerang pribadi yang dikritik
Pada dasarnya yang dikritik adalah hasil pemikiran atau kerja seseorang, bukan pribadi orangnya.
Kritik itu disampaikan bukan berdasarkan suka atau tidak suka. Jangan mentang-mentang kita tidak suka dengan seseorang akhirnya kita sibuk cari-cari kesalahan dengan menyerang personalnya.
Nah, yang menyerang personal inilah yang lebih tepat disebut sebagai pembunuhan karakter.
Bagaimana Sikap Kita dalam Merespon Sebuah Kritik?
Pertama, introspeksi
Pihak yang mendapat kritik seharusnya berterima kasih karena telah ditunjukkan kekurangannya.
Kritik juga merupakan bentuk kontrol, perhatian dan kepedulian agar pihak atau suatu hal yang dikritik bisa berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu, kritik seharusnya menjadi bahan introspeksi agar yang bersangkutan tidak melulu merasa benar sendiri.
Kedua, cari solusi dan lakukan perubahan
Kritik yang baik tidak harus disertai solusi.
Ada yang tidak setuju? Silakan.
Mengapa saya katakan demikian?
Sebenarnya secara tersirat, kritik sudah memberikan clue mengenai solusi yang harus dilakukan.
Misalnya, seorang karyawan dikritik kinerjanya oleh atasan karena laporan suka ngaret dari deadline. Sudah begitu banyak yang salah pula. Padahal sebelumnya sudah diajarkan bagaimana membuat laporan yang baik dan benar.
Sudah jelas kan sebenarnya apa kesalahan si karyawan? Tanpa perlu diberi tahu pun, karyawan seharusnya bisa introspeksi sekaligus mencari solusi, apa yang harus dilakukan supaya tidak ngaret dan salah lagi.
Apalagi kalau yang dikritik itu pejabat publik.
Ketika kebijakan mereka dikritik rakyat, kenapa rakyat juga yang kudu mikir solusinya?Â
Memangnya tuan dan puan kami pilih untuk apa? Tuan dan puan digaji dari uang rakyat untuk apa?
Ketiga, jangan merespon kritik dengan whataboutism
Whataboutism berasal dari kata "what about.." atau "bagaimana dengan..." , adalah kesesatan berpikir (logical fallacy) di mana satu pihak membelokkan kritik atau tudingan dari pihak lain dengan menyangkal isu lainnya yang dianggap setara tapi tidak relevan.
Whataboutism merupakan teknik propaganda yang pernah digunakan oleh Uni Soviet saat berinteraksi dengan dunia Barat semasa Perang Dingin.
Ketika pemerintah Uni Soviet dikritik mengenai pelanggaran HAM, Soviet selalu mengelak sambil menyerang balik dengan membeberkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara Barat, seperti "Bagaimana dengan perlakuanmu terhadap orang-orang kulit hitam?"
Taktik ini kembali digunakan pasca pecahnya Uni Soviet bahkan sampai sekarang sehingga dunia Barat sering menyebutnya sebagai "tradisi" hingga "ideologi nasional Rusia".Â
Pada praktiknya, whataboutism tidak hanya dipakai oleh pemerintah Rusia tapi juga terjadi dalam interaksi sehari-hari, termasuk ketika berdebat dengan sesama warganet di media sosial.
Salah satu contohnya adalah ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengeluarkan Seruan Gubernur (Sergub) No.8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Merokok beberapa waktu lalu. Kebijakan tersebut rupanya mengundang perdebatan di kalangan warganet.
Salah seorang warganet merespon kebijakan tersebut dengan argumen, "Gula juga bahaya bikin diabetes, kok enggak diatur?"
Tentu saja argumen ini tidak valid karena rokok dan gula adalah dua hal yang berbeda sehingga tidak apple to apple.
Merespon kritik dengan whataboutism hanya akan mengalihkan fokus kita dari masalah yang seharusnya diselesaikan. Akhirnya bukan solusi yang didapat melainkan hanya debat kusir dan saling menyalahkan.
Wasana Kata
Kritik bisa hadir tanpa disertai solusi. Namun solusi tidak akan lahir tanpa kritik. Dan tanpa keduanya, jangan harap akan ada perubahan.
Jadi, siapapun yang alergi kritik sejatinya ia telah menolak berbenah dan berubah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI