Apalagi kalau yang dikritik itu pejabat publik.
Ketika kebijakan mereka dikritik rakyat, kenapa rakyat juga yang kudu mikir solusinya?Â
Memangnya tuan dan puan kami pilih untuk apa? Tuan dan puan digaji dari uang rakyat untuk apa?
Ketiga, jangan merespon kritik dengan whataboutism
Whataboutism berasal dari kata "what about.." atau "bagaimana dengan..." , adalah kesesatan berpikir (logical fallacy) di mana satu pihak membelokkan kritik atau tudingan dari pihak lain dengan menyangkal isu lainnya yang dianggap setara tapi tidak relevan.
Whataboutism merupakan teknik propaganda yang pernah digunakan oleh Uni Soviet saat berinteraksi dengan dunia Barat semasa Perang Dingin.
Ketika pemerintah Uni Soviet dikritik mengenai pelanggaran HAM, Soviet selalu mengelak sambil menyerang balik dengan membeberkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara Barat, seperti "Bagaimana dengan perlakuanmu terhadap orang-orang kulit hitam?"
Taktik ini kembali digunakan pasca pecahnya Uni Soviet bahkan sampai sekarang sehingga dunia Barat sering menyebutnya sebagai "tradisi" hingga "ideologi nasional Rusia".Â
Pada praktiknya, whataboutism tidak hanya dipakai oleh pemerintah Rusia tapi juga terjadi dalam interaksi sehari-hari, termasuk ketika berdebat dengan sesama warganet di media sosial.
Salah satu contohnya adalah ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengeluarkan Seruan Gubernur (Sergub) No.8 tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Merokok beberapa waktu lalu. Kebijakan tersebut rupanya mengundang perdebatan di kalangan warganet.
Salah seorang warganet merespon kebijakan tersebut dengan argumen, "Gula juga bahaya bikin diabetes, kok enggak diatur?"