Menjadi seorang artis itu gampang-gampang susah (atau susah-susah gampang, ya? Mereka dituntut untuk selalu tampil sempurna dari ujung kepala hingga kaki. Sedikit saja ada 'cacat' bahkan hanya sebiji kecil jerawat di pipi bisa mengundang body shaming oleh warganet.
Seorang artis atau public figure juga sering dituntut untuk punya attitude yang baik agar dapat menjadi role model (panutan), terutama bagi penggemarnya. Sekali ia berbuat salah, hujatan akan menghampirinya. Takpeduli berapa banyak prestasi dan kebaikan yang telah ia lakukan.
Di Indonesia, artis yang tersandung skandal masih bisa sedikit bernafas lega. Takpercaya? Coba lihat, berapa banyak artis bermasalah yang lebih banyak membuat sensasi dibanding mendulang prestasi, tapi masih dapat panggung di sana sini! Mulai dari tawaran main sinetron, jadi pembawa acara, bintang tamu di berbagai talkshow dan sebagainya. Entah mereka yang tidak tahu malu atau kita memang doyan sesuatu yang sensasional.
Andai mereka jadi artis di Korea Selatan, jangan harap karir di dunia hiburan akan aman-aman saja. Kalau publik sudah menyerukan boikot terhadap artis atau public figure yang bermasalah, tamatlah riwayat karirnya.Â
Bukan cuma hujatan yang akan diterimanya, melainkan bisa berujung pada pembatalan kontrak kerja hingga tidak dapat tampil di berbagai acara atau layar kaca. Dan jika karirnya sudah hancur, akan sulit untuk naik pamor kembali.
Seperti kasus yang menimpa aktor drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha, Kim Seon Ho, yang tersandung skandal gashlighting dan pemaksaan aborsi terhadap mantan pacarnya.Â
Akibat dari kasus ini, para pengiklan segera membatalkan kontrak kerja dan menghapus berbagai iklan yang dibintangi oleh Kim Seon Ho.Â
Konferensi pers yang bakal diadakan setelah berakhirnya drama Hometown Cha-Cha-Cha juga dibatalkan setelah kontroversi ini mencuat ke publik. Warganet Korea Selatan yang kecewa dengan perbuatan sang aktor pun ramai-ramai memboikotnya.
Sementara di tanah air, yang terbaru adalah kasus selebgram Rachel Vennya, yang kabur dari kewajiban karantina sepulang dari Amerika Serikat. Menurut keterangan Kepala Penerangan Kodam Jaya, Herwin BS, Rachel Vennya kabur dibantu oleh oknum TNI yang bertugas di bagian pengamanan Satgas Covid-19 bandara. Publik dibuat kesal karena banyak dari mereka yang harus menjalani karantina sepulang dari luar negeri meskipun harus menghadiri acara mendesak.
Publik pun menuntut agar kasus ini diproses secara hukum karena Rachel Vennya dianggap telah melanggar undang-undang kekarantinaan kesehatan.
Kasus Kim Seon Ho dan Rachel Vennya hanyalah sebagian kecil contoh betapa tidak mudahnya menjaga citra dan reputasi baik bagi seorang public figure.
Mereka yang di depan kamera lekat dengan citra anak baik-baik, polos, lugu, santun dan lemah lembut, bisa menjadi pribadi yang sama sekali berbeda ketika di belakang kamera. Sosok yang biasa kita saksikan di media bisa jadi adalah sosok yang scripted, sudah diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi ekspektasi pemirsa dan penggemar.
Makanya ketika seorang public figure yang selama ini lekat dengan citra anak baik-baik, tiba-tiba diberitakan tersandung skandal, akan ada orang-orang yang bersikap denial (menyangkal) dan membela sang idola.Â
Pemakluman dengan dalih "tidak ada manusia yang sempurna", "setiap manusia pernah berbuat salah" dan pembelaan lainnya atas tindakan yang dilakukan sang idola juga akan selalu ada.
Memang benar, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Tapi kalau kesalahan yang sama terus diulang dan berpikir bahwa semua bisa selesai hanya dengan permintaan maaf, itu artinya ia tidak belajar. Dan permintaan maafnya hanya omong kosong belaka.
Kalau begitu, apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus yang menimpa Kim Seon Ho, Rachel Vennya dan public figure lainnya? Public figure yang harus lebih menjaga sikap atau kita sebagai pemirsa/penggemar yang harus lebih cerdas?
Hal pertama yang harus kita pahami adalah kita hanya penonton, penggemar atau penikmat karyanya. Bukan keluarga, teman, tetangga, mantan pacar apalagi pasangan sang idola. Jadi, kita tidak benar-benar paham bagaimana sifat aslinya dalam kehidupan sehari-hari. Yang kita tahu hanya citranya di depan kamera.Â
Seperti yang saya katakan sebelumnya, apa yang tampak di depan kamera belum tentu sama dengan ketika ia di belakang kamera.
Dengan demikian kita seharusnya tidak menjadi fans yang lebay dan norak.Â
Ingat ya, idolamu itu hanya manusia biasa bukan malaikat atau manusia setengah dewa. Jadi, kalau suatu saat ia berbuat sesuatu yang mengecewakan, setidaknya kamu bisa memandang tindakannya secara lebih objektif---benar ya benar, salah ya salah---dan tidak terjebak pada glorifikasi berlebihan.
Dalam beberapa kasus, misalnya seorang public figure yang terbukti melakukan kekerasan seksual, gunakan sudut pandang yang berperspektif korban. Bukan malah menyalahkan korban dan menunduhnya sedang cari perhatian. Glorifikasi berlebihan terhadap seorang public figure yang bermasalah ini bisa menyakiti perasaan korban yang notabenenya adalah pihak rentan.
Sebagai seorang artis dan public figure, mereka seharusnya sadar akan posisi dan pengaruhnya pada publik.Â
Mereka punya penggemar yang menjadikan mereka sebagai panutan dan inspirasi dalam berbagai hal. Entah itu soal gaya berpakaian, model rambut, gaya hidup, dedikasi dalam pekerjaan dan sebagainya.
Popularitas dan pengaruh yang dimiliki seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menebar kebaikan dan inspirasi melalui karya. Bukan malah sibuk mencari sensasi.
Tapi lagi-lagi, kita juga harus sadar bahwa kita tidak punya kuasa untuk mengatur perilaku orang lain Â
Menuntut artis idolamu untuk lebih menjaga sikap, baik di depan maupun belakang kamera, itu overrated. Mau tidak mau kita lah yang harus lebih cerdas dan bijak ketika mengidolakan seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H