Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Saipul Jamil, KPI, dan Polemik RUU PKS: Ketika Pelecehan Seksual Masih Dianggap Masalah Sepele

8 September 2021   11:21 Diperbarui: 13 April 2022   06:09 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis, 2 September 2021 kemarin, pedangdut Saipul Jamil dibebaskan setelah menjalani hukuman 5 tahun penjara di LP Cipinang atas kasus kekerasan seksual terhadap dua bocah remaja. 

Hari kebebasannya itu disambut dengan sambutan meriah bak atlet olimpiade yang baru saja menyabet medali emas. Bahkan ia sempat tampil kembali di layar kaca. Publik pun bereaksi dan ramai-ramai menyerukan aksi "boikot Saipul Jamil dari televisi" yang petisinya sudah ditandatangani oleh ratusan ribu orang.

Bersamaan dengan itu, kita juga dikejutkan dengan kasus perundungan dan pelecehan yang terjadi di tubuh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Kasus tersebut bahkan sudah terjadi sejak 9 tahun lalu. Sudah dilaporkan ke polisi namun baru ditanggapi setelah viral.

Belum reda kehebohan dua kasus tersebut, tim ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan perubahan nama RUU PKS menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan alasan kata "penghapusan" dinilai terlalu abstrak. Sementara frasa "Tindak Pidana" dianggap bisa memudahkan penegakan hukum.

Sayangnya, perubahan nama itu diikuti juga dengan penghapusan pasal-pasal penting, dari 128 pasal menjadi hanya 43 pasal. 

DPR juga memangkas 9 jenis kekerasan seksual (pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual) yang terdapat dalam RUU PKS menjadi hanya 4 jenis (pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual dan pemaksaan kontrasepsi) dalam RUU TPKS.

Tindakan DPR ini tentu saja menuai protes dan kritik karena pasal-pasal yang seharusnya dapat mengakomodir hak-hak korban justru dipangkas. Hal ini dianggap sebagai langkah mundur atas perlawanan terhadap pelecehan seksual dan akan membuat korban menjadi semakin sulit untuk mendapat keadilan.

ilustrasi korban pelecehan seksual | gambar diunduh dari nasional.tempo.co
ilustrasi korban pelecehan seksual | gambar diunduh dari nasional.tempo.co

Mewajarkan Pelecehan Seksual

Harus diakui bahwa banyak dari kita yang menganggap pelecehan seksual bukan kejahatan serius.

Nggak perlu jauh-jauh sampai pemerkosaan segala deh, siul-siul ketika ada perempuan lewat (catcalling) dan candaan-candaan seksis aja dianggap normal, kok. Pelaku merasa apa yang dilakukannya cuma bercanda. Padahal yang mengalaminya merasa risih diperlakukan demikian. Giliran ditegur, malah dikatain baperan dan nggak asyik.

Karena kita terbiasa mewajarkan segala bentuk pelecehan seksual berikut pelakunya, korban pelecehan yang mencoba speak up akan ditekan dan dipaksa untuk give up. Kasus yang terjadi di KPI Pusat itu salah satu contohnya.

Kejadiannya kapan, ditanggapinya nunggu viral. Ketika melapor ke polisi pun korban masih sering mendapat pertanyaan yang menyudutkan dan tidak simpatik. Speak up di media malah berbuah perisakan.

Di masyarakat, korban pelecehan seksual bukannya dibela dan didukung untuk memulihkan trauma atau mencari keadilan malah dikucilkan, dibicarakan di belakang, diusir dari kampungnya, dianggap tidak bermoral dan sampah masyarakat. Korban yang disalahkan karena dianggap telah memancing pelaku untuk melakukan pelecehan.

Sudah jatuh tertimpa tangga diinjak-injak pula. Bisakah Anda bayangkan bagaimana perasaan korban?

Sementara pelaku yang sudah jelas-jelas salah masih bisa melenggang bebas.

Jika si pelaku orang kaya, terkenal, punya kekuasaan atau minimal dekat dengan lingkaran kekuasaan, ia bisa saja menyuap penegak hukum agar dirinya diloloskan dari hukuman. Pelaku juga bisa balik melaporkan korban dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Kalau sudah begini namanya kriminalisasi korban.

Atau bisa juga pakai cara instan tapi pengecut, yaitu diakhiri secara "kekeluargaan".

Mengapa Masyarakat Masih Mewajarkan Pelecehan Seksual?

Pertama, adanya ketimpangan relasi kuasa, di mana salah satu pihak merasa lebih superior (baca: pelaku) dibanding korbannya sehingga dapat mengintimidasi, mengancam dan melakukan kekerasan. Misalnya, dosen kepada mahasiswa, atasan kepada bawahan, karyawan senior kepada karyawan junior, suami kepada istri dan sebagainya.

Ketimpangan ini ditopang oleh budaya patriarki yang melanggengkan nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis. Oleh karena itu, segala hal tentang perempuan dan feminitas selalu ditempatkan di bawah kepentingan laki-laki dan apapun yang mewakili maskulinitas. Dan pelecehan seksual adalah salah satu cara yang dilakukan oleh laki-laki untuk menunjukkan dominasinya atas perempuan.

Kedua, penafsiran agama yang bias gender

Dalam agama Islam, ada ayat yang biasanya dijadikan "senjata" oleh laki-laki, terutama suami, untuk bersikap sewenang-wenang terhadap istri. 

Misalnya ayat tentang nusyuz, di mana seorang istri harus taat dan patuh pada perintah suami. Karena suami merupakan pemimpin dan telah memberi nafkah, ayat tersebut sering dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan fisik, verbal maupun seksual pada istri. Padahal tafsirnya tidak sedangkal itu.

Ketiga, penegakan hukum yang lemah dan tidak berperspektif korban

Kita sama-sama tahu bahwa hukum di negara ini seperti mata pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas dan cenderung membela yang bayar. 

Inilah yang menyebabkan banyak korban lebih memilih diam karena takut akan berbalik dipidanakan. Sementara yang cukup berani bersuara, biasanya memilih menyuarakannya lewat media sosial.

Wasana Kata

Kasus pelecehan seksual itu seperti gunung es. Lebih banyak kasus yang tidak atau belum ketahuan karena ditutup-tutupi sedemikian rapat. Padahal yang ketahuan saja sudah terbilang banyak. Mengapa demikian?

Karena banyak korban pelecehan seksual yang tidak berani melapor. Alasan paling umum yang menyebabkan mereka enggan melapor adalah karena malu, takut disalahkan, takut dibilang "lebay"/"cari perhatian"/"panjat sosial" hingga takut dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Korban pelecehan seksual pasti mengalami trauma berat yang bisa terbawa seumur hidupnya. Yang lebih mengenaskan adalah apabila ia mengalaminya sejak masih kecil dan pelakunya adalah orang-orang terdekatnya sendiri.

Glorifikasi terhadap pelaku pelecehan seksual adalah tindakan yang melukai perasaan korban. Hal ini akan ditafsirkan oleh orang-orang bahwa pelecehan seksual adalah sesuatu yang diwajarkan dan bukan masalah besar karena ternyata pelakunya masih tetap dapat "panggung", dibela dan dipuja-puja.

Dengan kondisi yang seperti ini, kok bisa-bisanya pasal-pasal penting dalam RUU PKS dihilangkan? Apakah negara ingin melindungi pelaku pelecehan seksual?

Oiya, jangan lupakan juga betapa pembahasan untuk RUU ini lamanya minta ampun. Sudah begitu sempat dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020 pula. Padahal ide tentang aturan ini telah diinisiasi cukup lama oleh Komnas Perempuan sejak 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun