Misalnya ayat tentang nusyuz, di mana seorang istri harus taat dan patuh pada perintah suami. Karena suami merupakan pemimpin dan telah memberi nafkah, ayat tersebut sering dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan fisik, verbal maupun seksual pada istri. Padahal tafsirnya tidak sedangkal itu.
Ketiga, penegakan hukum yang lemah dan tidak berperspektif korban
Kita sama-sama tahu bahwa hukum di negara ini seperti mata pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas dan cenderung membela yang bayar.Â
Inilah yang menyebabkan banyak korban lebih memilih diam karena takut akan berbalik dipidanakan. Sementara yang cukup berani bersuara, biasanya memilih menyuarakannya lewat media sosial.
Wasana Kata
Kasus pelecehan seksual itu seperti gunung es. Lebih banyak kasus yang tidak atau belum ketahuan karena ditutup-tutupi sedemikian rapat. Padahal yang ketahuan saja sudah terbilang banyak. Mengapa demikian?
Karena banyak korban pelecehan seksual yang tidak berani melapor. Alasan paling umum yang menyebabkan mereka enggan melapor adalah karena malu, takut disalahkan, takut dibilang "lebay"/"cari perhatian"/"panjat sosial" hingga takut dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Korban pelecehan seksual pasti mengalami trauma berat yang bisa terbawa seumur hidupnya. Yang lebih mengenaskan adalah apabila ia mengalaminya sejak masih kecil dan pelakunya adalah orang-orang terdekatnya sendiri.
Glorifikasi terhadap pelaku pelecehan seksual adalah tindakan yang melukai perasaan korban. Hal ini akan ditafsirkan oleh orang-orang bahwa pelecehan seksual adalah sesuatu yang diwajarkan dan bukan masalah besar karena ternyata pelakunya masih tetap dapat "panggung", dibela dan dipuja-puja.
Dengan kondisi yang seperti ini, kok bisa-bisanya pasal-pasal penting dalam RUU PKS dihilangkan? Apakah negara ingin melindungi pelaku pelecehan seksual?
Oiya, jangan lupakan juga betapa pembahasan untuk RUU ini lamanya minta ampun. Sudah begitu sempat dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020 pula. Padahal ide tentang aturan ini telah diinisiasi cukup lama oleh Komnas Perempuan sejak 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H