Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Child Free atau Tidak, Jangan Paksakan Pilihan Hidup Anda pada Orang Lain

30 Agustus 2021   17:21 Diperbarui: 8 Februari 2023   15:43 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi childfree | Sumber gambar: diunggah dari The Guardian via tribunnews.com

"Kalau pun seorang perempuan tidak melahirkan anak, setidaknya mereka dapat melahirkan kebaikan, keteladanan maupun ilmu yang bermanfaat bagi sesama. Bukankah itu adalah tugas setiap manusia, termasuk perempuan?"

Dan perempuan juga manusia bukan? Oke, ini hanya tambahan saja dari saya.

Kalimat tersebut merupakan kalimat penutup yang saya kutip dari salah satu artikel saya yang membahas tentang child free. Jika berkenan, Anda dapat membaca artikel lengkapnya di sini.

Dulu saya berpikir bahwa orang dewasa harus menikah untuk meneruskan keturunan, yang berarti harus punya anak. Tapi lama kelamaan saya juga jadi bertanya-tanya, bagaimana dengan mereka yang memutuskan tidak ingin punya anak walaupun menikah? Bagaimana dengan mereka yang salah satu atau bahkan keduanya infertil sehingga tidak bisa punya anak? Bagaimana pula dengan mereka yang memutuskan untuk melajang hingga akhir hayat?

Jadi, apakah seseorang wajib memasukkan "menikah" dan "memiliki anak" sebagai bagian dari daftar tujuan hidupnya?

Kita hidup di masyarakat dengan budaya kolektif sehingga agak sulit bagi perempuan untuk sekadar memiliki apalagi menyuarakan pilihan personalnya. Gita Savitri adalah salah satu contohnya.

Dalam masyarakat yang menganut pandangan pro-life atau pro kehidupan, child free adalah hal yang asing sehingga dianggap sebagai sesuatu yang "menyimpang" dari standar keluarga ideal. 

Standar keluarga ideal yang kita anut harus terdiri dari ayah, ibu dan anak. Tanpa kehadiran salah satunya, keluarga tersebut dikatakan tidak ideal atau tidak utuh.

Oleh karena itu, kehadiran anak dianggap sebagai pelengkap kebahagiaan bagi pasangan suami istri dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Saking kepenginnya, beberapa pasutri yang telah lama menikah namun belum juga memperoleh keturunan, melakukan berbagai cara agar bisa punya anak. Maka tidak heran apabila mereka yang child free dianggap tidak bersyukur dan tidak peka terhadap perjuangan para pejuang dua garis biru.

Akuilah, bahwa kita memang masih latah dan belum terbiasa menghadapi pilihan perempuan yang kadang berseberangan dengan pilihan mayoritas masyarakat. Child free hanya salah satunya.

Perempuan yang demikian sering dianggap ngeyelan atau pembangkang. Akhirnya distigmakan sebagai "bukan perempuan baik-baik". Dalam bahasa agama disebut sebagai "bukan perempuan salehah". Hal ini menyebabkan perempuan hanya punya pilihan yang terbatas---bahkan dalam beberapa kasus---bisa jadi tidak punya sama sekali.

Beberapa perempuan tidak tahu apa yang ia inginkan. Beberapa bahkan tidak tahu bahwa dirinya boleh punya dan menentukan pilihan.

Mengapa? Karena kadang mereka tidak diberi hak tersebut. Maka wajar jika mereka menganggap bahwa seluruh aspek hidupnya adalah ketundukan mutlak.

Pilihan pribadi seharusnya tidak bernilai benar atau salah karena ia didasarkan pada standar, kondisi atau kebutuhan pribadi. Maka apapun yang menjadi pilihannya, itu adalah sesuatu yang valid.

Mengapa orang memilih child free? Ya, macam-macam alasannya. Ada yang karena alasan finansial, kesehatan fisik maupun mental, lingkungan bahkan ada yang alasannya karena tidak tertarik pada anak-anak.

Apakah itu aneh? Ya, bagi sebagian besar orang, alasan apapun itu tetap tidak dapat diterima. Karena kebanyakan orang memang tidak terbiasa bertemu atau menghadapi perbedaan yang anti mainstream seperti ini.

Standar nilai hidup dan kebahagiaan kita tidak mungkin bisa dipaksakan ke orang lain. Belum tentu cocok juga untuk mereka.

Orang-orang yang menganggap bahwa pernikahan akan lebih bahagia dan lengkap dengan kehadiran seorang anak, menjadikan kehadiran anak dalam rumah tangga sebagai standar kebahagiaan mereka. Jika ini merupakan preferensi Anda dan Anda memilihnya dengan penuh kesadaran serta tanggung jawab, tentu tidak masalah.

Akan jadi masalah ketika Anda memaksakan standar kebahagiaan tersebut pada orang lain yang tidak berniat punya anak. Karena bisa jadi standar kebahagiaan mereka bukan pada kehadiran seorang anak sehingga mereka ingin menjalani kehidupan rumah tangga berdua saja.

Mungkin mereka merasa bahwa tanpa memiliki anak, hubungan antara suami dan istri jadi lebih solid karena lebih banyak punya waktu untuk berdua. Dan bagi mereka ini sudah lebih dari cukup.

Ini juga sah-sah saja bagi mereka selama dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Yang penting bukan hanya ikut-ikutan pesohor atau influencer biar dianggap edgy dan open minded.

Oleh karena itu, Anda juga tidak perlu memaksakan pilihan child free pada orang lain. Jangan pula mengatai mereka yang pilihan hidupnya mengikuti arus mainstream sebagai kaum close minded dan kuno.

Bukankah pilihan adalah tanggung jawab masing-masing individu yang menjalaninya? Lalu, mengapa harus memaksakan pilihan hidup kita pada orang lain? Memangnya kalau orang lain memilih childfree akan merugikan hidup kita, membuat kita jadi miskin, kelaparan atau mengancam nyawa kita, misalnya?

Sudahlah, jangan jadi orang gumunan begitu. Alih-alih mengatai mereka yang memilih childfree sebagai orang yang egois, berkacalah pada diri Anda dulu. Sudahkah Anda menjadi orangtua yang baik dan tidak egois pada anak sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun