Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana budaya patriarki telah mengajarkan pada perempuan seolah tubuhnya bukan otoritasnya sendiri.
Tubuh perempuan selama ini diatur oleh lingkungan sosial melalui seperangkat aturan dan larangan sehingga perempuan harus selalu diberi tahu apa yang boleh dan tidak boleh mereka pakai serta apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan atas tubuh mereka.
Itu baru soal pakaian.
Dalam relasi pernikahan, masalahnya bisa lebih runyam lagi.Â
Jika perempuan lajang merasa bahwa pertanyaan "kapan nikah?" adalah pertanyaan horor, maka setelah ia menikah, horor berikutnya jauh lebih horor lagi (apaan sih ini?).
Maksudnya adalah tuntutan untuk segera punya momongan setelah menikah.
Anda tahu kabar tentang influencer, Gita Savitri atau Gitasav dan suami, yang memilih childfree?
Jika Anda tahu bagaimana reaksi para netizen atas keputusannya, Anda harusnya sadar betapa perempuan yang telah menikah mendapat tuntutan dan tekanan sosial yang jauh lebih berat.
Okelah, mungkin Gitasav atau Anda sebagai perempuan, beruntung bisa punya pasangan yang demokratis dan mengizinkan Anda untuk memilih apakah mau punya anak atau tidak.Â
Masalahnya, kehidupan pernikahan tidak hanya terdiri dari Anda dan pasangan. Ada orangtua, ada mertua, ada ipar dan ada masyarakat sekitar.
Pasangan bisa jadi setuju untuk childfree. Tapi, apa kata orangtua, mertua dan masyarakat?