Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lari dari Masalah Itu Tidak Apa-apa, Asalkan Masalah Terselesaikan

6 Agustus 2021   15:33 Diperbarui: 7 Agustus 2021   01:16 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lho, kok gitu? 

Setiap orang pasti punya masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan. Tapi, gimana masalah mau selesai coba, kalau lari dari masalah justru diperbolehkan? Bukankah yang seperti itu adalah tindakan seorang pengecut, kekanak-kanakan dan tidak bertanggung jawab?

Eits! Tunggu dulu.

Ternyata lari dari masalah atau lari dari kenyataan tidak seburuk yang selama ini kita pikirkan. Bahkan sebenarnya kita perlu melakukannya ketika masalah atau kenyataan hidup yang kita hadapi begitu pelik dan menguras energi. Perilaku ini dalam dunia psikologi dikenal sebagai eskapisme. 

Menurut Macpherson, dalam buku Women's Movement: Escape as Transgression in North American Feminist Fiction (2000), menjelaskan bahwa eskapisme memiliki makna yang cair dan bentuknya pun beragam.

The Encyclopedia of Pyschology mendefinisikan eskapisme sebagai bentuk mekanisme pertahanan yang berciri menarik diri secara fisik dan mental dari aspek tidak menyenamgkan dalam realitas. 

Sementara perilaku eskapis, menurut Longman Dictionary of Psychology and Psychiatric, merujuk pada setiap tindak tanduk subjek untuk menghindari situasi menyakitkan. 

Perilaku tersebut mencakup fantasi atau kegiatan melamun dan menghindari hal-hal yang dianggap berbahaya atau mengancam bagi seseorang.

Igorevna (2015), dalam Austrian Journal of Humanities and Social Sciences, menjelaskan 4 tipe eskapisme sebagai berikut:

  • Avoiding (melarikan diri dari kenyataan pelik yang mesti dihadapi)
  • Passive (melakukan hal-hal sederhana yang tidak menuntut upaya besar), misalnya mendengarkan musik, menonton film, dan sebagainya
  • Active (tindakan melakukan hobi untuk melepaskan diri dari rutinitas atau pekerjaan utama)
  • Extreme (melibatkan aktivitas berisiko tinggi), misalnya konsumsi minuman beralkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, melompat dari ketinggian dan sebagainya

Menurut sifatnya, eskapisme dapat dibagi menjadi eskapisme positif dan eskapisme negatif.

Eskapisme positif adalah jenis eskapisme yang dapat membuat suasana hati membaik dan mendatangkan manfaat jika dilakukan dengan benar. 

Contoh eskapisme positif antara lain membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, bermain game, traveling, meditasi, tidur dan melakukan hobi atau hal-hal menyenangkan lainnya.

Eskapisme positif inilah yang---dalam ukuran berimbang---baik untuk menjaga kesehatan mental dan mampu menyelamatkan masa depan.

Sedangkan eskapisme negatif adalah jenis eskapisme yang hanya memberikan kesenangan di awal namun mendatangkan masalah baru yang lebih pelik di akhir. 

Misalnya ketika sedang stres, kita melampiaskannya dengan makan. Itu boleh-boleh saja dilakukan. Tapi kalau kita makan berlebihan kemudian makan makanan yang tidak sehat, kita berisiko menderita obesitas. Obesitas sendiri nantinya akan memicu penyakit-penyakit lain yang lebih berbahaya, misalnya jantung dan stroke.

Ada lagi yang kalau sedang stres pelariannya adalah belanja. 

Hal tersebut juga sah-sah saja dilakukan. Tapi ketika kebiasaan belanja ini berkembang menjadi impulsive buying atau membelanjakan uang tanpa perencanaan, barang yang dibeli juga tidak penting-penting amat.

Tentu itu bisa membahayakan keuangan kita. Tidak punya tabungan dan investasi sampai terlilit utang. Bahkan saking parahnya, bisa-bisa untuk beli kebutuhan sehari-hari saja pakai kartu kredit. Sama aja utang kan?

Mengapa Eskapisme Penting?

Ketika masalah datang bertubi-tubi dan kian rumit, kita akan lelah secara fisik dan mental. Kondisi tersebut membuat kita lebih sulit untuk berpikir jernih. 

Jika dipaksakan, kita hanya akan membuat keputusan yang dapat menghancurkan diri sendiri. Padahal untuk membuat keputusan yang tepat (apalagi yang menyangkut kepentingan orang banyak) tidak seharusnya dilakukan dalam kondisi fisik dan psikis yang tidak stabil.

Oleh karena itu, eskapisme atau lari (sejenak) dari masalah dapat menjadi pilihan yang baik dan recommended. 

Kita perlu beristirahat, melepas kepenatan dan kebosanan, melupakan sejenak masalah dan rutinitas utama agar pikiran lebih lega dan rileks. Dengan demikian, kita akan lebih siap dan kuat dalam menghadapi masalah. 

Eskapisme dapat dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi dan kontemplasi agar dapat menilai permasalahan yang tengah dihadapi secara lebih objektif sekaligus mampu melihatnya dari berbagai perspektif.

Tips Melakukan Eskapisme dengan Cara yang Baik dan Benar 

Pada dasarnya eskapisme itu hanya berlaku sementara sehingga setelah rehat dan kondisi diri lebih tenang, kita harus kembali "ke realita", menghadapi dan menyelesaikan masalah. Supaya eskapisme tidak kebablasan dan membuat terlena serta lalai, kita dapat menerapkan beberapa tips berikut.

Pertama, memahami kebutuhan kita

Tujuan eskapisme adalah untuk menenangkan diri agar mampu berpikir jernih dan membuat keputusan yang lebih baik. Oleh karena itu, kita harus paham apa yang kita butuhkan saat sedang jenuh, lelah atau stres dengan masalah yang ada. 

Selain itu, kita juga harus paham betul tujuan dari eskapisme itu sendiri serta risiko yang akan dihadapi jika eskapisme kita kebablasan bahkan cenderung negatif.

Kedua, temukan teman curhat yang tepat dan dapat dipercaya

Berkeluh kesah kepada orang lain tentang masalah Anda merupakan salah satu bentuk pelarian yang baik. 

Minimal ada orang yang bersedia mendengarkan cerita Anda tanpa menghakimi dan bersikap sok bijak.

Sebaiknya Anda tidak curhat di media sosial untuk menghindarkan diri dari respon-respon kejam warganet. Anggaplah ini sebagai antisipasi demi menjaga kewarasan Anda.

Ketiga, jadikan menulis (terutama menulis ekspresif) sebagai terapi

Expressive writing atau menulis ekspresif sering dijadikan terapi bagi pengidap gangguan mental, seperti depresi, gangguan kecemasan dan lain-lain. Namun tidak ada salahnya jika kita melakukannya sebagai pelarian sejenak dari masalah atau rutinitas utama agar tidak stres.

Tidak perlu pusing memikirkan EYD maupun PUEBI dalam menulis ekspresif. Karena dalam menulis ekspresif kita hanya perlu menuangkan pengalaman-pengalaman pribadi dan emosi yang dirasakan sebebas-bebasnya sampai kita merasa lega.

Keempat, perencanaan yang jelas

Anda tidak bisa terus-menerus menghindar atau melarikan diri dari masalah dan kenyataan hidup. Karena eskapisme bukan alasan untuk lalai dari tanggung jawab menghadapi dan menyelesaikan masalah.

Eskapisme hanyalah masa istirahat agar Anda tidak kelelahan dan jatuh sakit (baik fisik maupun psikis). Oleh karena itu, Anda harus tahu apa yang akan dilakukan setelah masa istirahat ini berakhir.

Bila perlu, tuliskan saja rencana-rencana Anda secara jelas dan rinci. Rencana-rencana yang dituliskan akan menjadi pengingat dan memudahkan Anda dalam melakukan monitoring dan evaluasi diri.

Referensi : satu, dua 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun