Pernah nggak ketika kamu lagi gulir-gulir media sosial, lalu berhenti di salah satu postingan temanmu yang menampakkan kesuksesannya, kemudian kamu merasa insecure?
Pernah nggak kamu (terutama cewek-cewek) merasa minder dengan fisikmu setiap menengok foto-foto seorang pemengaruh (influencer) yang mukanya glowing dan mulus banget kayak porselen?
Kemudian kamu mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain dan melontarkan komentar-komentar negatif pada diri sendiri (negative self talk).
"Dia keren ya, umur belum 30 tapi udah kaya. Nggak kayak aku yang bodoh, pengangguran, miskin pula."
"Aku memang nggak berguna."
Mungkin kamu pernah dengar suatu nasihat yang mengatakan bahwa apa yang orang tampilkan di media sosial bukanlah keseluruhan dari cerita hidupnya. Hanya karena orang tersebut menampilkan kesuksesan atau hal-hal yang menyenangkan, bukan berarti ia tidak pernah mengalami kesulitan.
Bisa saja kan, foto-foto yang membuatnya sering disangka jalan-jalan terus, ternyata adalah stok foto-foto lama? Atau bisa jadi ia harus bekerja keras mencari uang tambahan dengan kerja sambilan sampai mengorbankan akhir pekan demi bisa plesiran.
Media sosial memang bermanfaat sebagai sarana penjenamaan diri (personal branding). Namun di sisi lain, media sosial juga kerap menjadi tempat berkembangnya perundungan (cyberbullying), ujaran kebencian, berita hoax, pelecehan seksual dan kejahatan-kejahatan dunia maya lainnya. Hal inilah yang---menurut studi---membuat media sosial bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Sebagai respon atas kejadian-kejadian tersebut, mulailah ada kampanye dan edukasi tentang self-love (mencintai diri) dan self-acceptance (penerimaan diri).Â
Tujuannya tidak lain adalah untuk menyebarkan pemahaman dan pesan positif, terutama pada anak-anak muda agar mereka mampu mencintai, merangkul, menghargai, dan menerima diri sendiri apapun kelemahan, kelebihan, kondisi dan perbedaan yang ada pada diri mereka maupun orang lain.