Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe", Sebuah Ujian Keikhlasan bagi Pejuang Kebaikan

16 Juni 2021   12:33 Diperbarui: 17 Juni 2021   21:57 28535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: TRIBUNJOGJA/Bramasto Adhy

Salah satu kekayaan budaya yang Indonesia miliki dan patut dilestarikan adalah bahasa daerah. Per tahun 2020, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang sudah teridentifikasi dan tersebar di 34 provinsi.

Bahasa Jawa menjadi bahasa daerah yang paling banyak dituturkan oleh masyarakat Indonesia. Mengutip dari Wikipedia, jumlah penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai 75,5 juta penutur pada tahun 2006. Sementara data resmi sensus 2010 melaporkan ada sekitar 68 juta penutur bahasa Jawa.

Sebagaimana bahasa Indonesia maupun bahasa daerah lainnya, bahasa Jawa juga memiliki ragam peribahasa yang kerap dijadikan pitutur (petuah) secara turun-temurun dari para orangtua kepada anak cucu.

Ada tiga bentuk pepatah Jawa yang umum dikenal, yaitu paribasan, bebasan, dan saloka. Jika dilihat dari substansinya, ketiganya bisa dikatakan memiliki kemiripan, yaitu sama-sama berisi nasihat, teguran dan sindiran.

Perbedaannya adalah kalau paribasan menggunakan bahasa yang lebih lugas dan tidak mengandung pengandaian.
Contoh :

Adigang, adigung, adiguna, artinya orang yang membanggakan kekuatan (adigang), keluruhan (adigung) dan kepintarannya (adiguna). Peribahasa ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang membanggakan kelebihan dirinya sehingga menjadi sombong.

Sepi ing pamrih rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan imbalan atau balasan namun tetap sungguh-sungguh dalam bekerja.

Bebasan mengandung makna pengandaian, di mana yang diandaikan adalah sifat, watak atau keadaan seseorang.
Contoh :

Diwenehi ati ngrogoh rempela, artinya sudah diberi sedikit malah minta lebih banyak. Dalam bahasa Indonesia hampir sama dengan "dikasih hati minta jantung". Peribahasa ini cocok untuk menggambarkan orang yang tidak tahu terima kasih.

Esuk dhele sore tempe, secara singkat orang kerap menyebutnya mencla-mencle, yaitu orang yang tidak punya pendirian. Hari ini bilang A, besok bilang B, besoknya lagi C. Omongannya tidak bisa dipegang.

Sementara saloka memiliki makna pengandaian seperti halnya bebasan, namun yang diandaikan adalah orang, binatang atau barang.
Contoh :

Gajah tumbuk karo gajah kancil mati ing tengah, artinya orang yang memiliki kedudukan (penguasa) saling bertengkar, rakyat kecil yang jadi korban. Hmm, kok sepertinya familiar dengan yang sering terjadi di negara anu ya?

Kacang mangsa ninggala lanjaran, artinya kebiasaan anak biasanya meniru perbuatan orangtuanya.

ilustrasi-sumber gambar: majalahsuarapendidikan.com
ilustrasi-sumber gambar: majalahsuarapendidikan.com

Nah, karena ada banyak peribahasa bahasa Jawa dan saya tidak mungkin menuliskan semuanya, di artikel ini saya akan fokus membahas satu contoh saja, yaitu sepi ing pamrih rame ing gawe.

Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, peribahasa ini mengandung makna dan pelajaran tentang keikhlasan. Dalam agama, ikhlas adalah ketika seseorang mampu melakukan suatu hal dengan niat tulus, semata-mata untuk mengharapkan rida Tuhan bukan mengharapkan pujian dari manusia.

Ada kalanya dalam hidup ini kita tidak mendapatkan hasil atau timbal balik seperti yang kita inginkan. Padahal kita telah mengorbankan seluruh tenaga, pikiran, waktu bahkan biaya untuk meraih cita-cita, menciptakan suatu karya atau membuat perubahan di tengah masyarakat.

Kita melakukannya dengan niat baik demi kebaikan bersama. Namun kadang ada pihak-pihak yang tidak senang dan merasa terusik dengan apa yang kita lakukan.

Kadang pekerjaan, karya atau kebaikan yang kita lakukan tidak dilihat, dianggap, dihargai bahkan mungkin dipandang sebelah mata dan dicaci. Namun inilah ujian yang akan menguji setangguh apa mental kita dan selapang apa hati kita dalam menghadapinya. Apakah kita akan tetap bergerak atau diam dan akhirnya menyerah?

Disinilah sebenarnya keikhlasan kita diuji. Jika kita benar-benar ikhlas melakukan suatu pekerjaan atau kebaikan, harusnya kita tidak akan terpengaruh oleh ada atau tidaknya pujian dan imbalan. 

Ketika dipuji atau diberi imbalan kita tidak sombong dan pamer. Ketika tidak dipuji atau diberi imbalan pun kita tidak akan marah dan kehilangan semangat untuk tetap berbuat baik.

Karena pujian dan imbalan sejatinya hanya bonus belaka. Sementara kebaikan, kerja atau karya nyata bagi diri sendiri dan sesama jauh lebih penting untuk dilakukan. 

Seseorang yang ikhlas pasti memiliki niat yang tulus dan bersih dari penyakit-penyakit hati, seperti pamer, sombong, iri, dengki dan sebagainya. 

Mereka tidak ambil pusing akan apa kata orang. Selama yang ia lakukan tidak merugikan siapapun, ia tidak akan ragu untuk tetap berbuat baik meski di jalan sunyi sekalipun.

Menjadi pribadi yang ikhlas memang tidak mudah. Dibutuhkan niat yang tulus, motivasi yang kuat, mental baja, pengorbanan dan kelapangan hati untuk menghadapi apapun reaksi yang diberikan oleh orang lain dan lingkungan atas apa yang kita lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun