Seks, bagi sebagian besar masyarakat kita masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu untuk dibicarakan, terutama pada anak-anak.
Ketika anak-anak bertanya pada orangtua tentang seks, seringkali para orangtua tidak mampu memberikan respon yang tepat dan memarahi anak karena dinilai tidak sopan.
Ketidakmampuan orangtua dalam merespon pertanyaan anak seputar seks dan minimnya pengetahuan serta pemahaman tentang pendidikan seks, membuat anak "mencari jawaban sendiri" di internet atau bertanya pada orang yang tidak tepat (baca: ke teman-temannya yang sebenarnya sama-sama tidak paham tapi sok tahu) untuk menuntaskan rasa penasarannya.
Masih mending kalau sumbernya kredibel dan informasi yang diperoleh anak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.Â
Bagaimana kalau ternyata anak malah mencari jawabannya dengan menonton video porno? Bukankah itu berisiko membuat anak kecanduan pornografi?
Salah Kaprah Tentang Pendidikan Seks
Banyak orang berpikir negatif tentang pendidikan seks atau sex education. Merasa anak masih kecil sehingga belum pantas untuk mengetahui dan menganggap anak akan tahu sendiri saat ia beranjak dewasa adalah pemikiran yang kurang tepat.
Mungkin mereka hanya fokus pada kata "seks" nya dan melupakan kata "pendidikan" yang disematkan sebelumnya.
Kebanyakan orang masih menganggap bahwa mengajarkan pendidikan seks pada anak-anak sama artinya dengan mengajarkan anak-anak berhubungan seks sejak dini, sehingga dikhawatirkan anak-anak akan terjerumus pada pergaulan bebas. Padahal pendidikan seks sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman anak-anak mengenai organ dan fungsi reproduksinya sehingga lebih peduli pada kesehatan seksual mereka.Â
Kemajuan teknologi saat ini, membuat konten-konten di media sosial atau tayangan-tayangan yang tidak seronok mudah diakses siapa saja. Pendidikan seks akan membentengi anak-anak dari pengaruh buruk tayangan atau konten tersebut.
Dengan bekal pendidikan seks yang baik, anak-anak juga dapat menjaga diri dalam pergaulan, terutama pergaulan dengan teman lawan jenis.Â
Jika mereka paham bagaimana harus bersikap dalam pergaulan, mereka akan lebih berhati-hati agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas maupun tindak kriminal, seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Pada dasarnya pendidikan seks bisa dikenalkan minimal pada anak-anak usia Sekolah Dasar (mulai umur 6 tahun). Lalu, apa saja yang dapat dipelajari dari pendidikan seks?
Pertama, pemahaman tentang organ dan fungsi reproduksi
Sebenarnya pengetahuan tentang ini akan didapat saat pelajaran IPA (saya dulu pertama kali mempelajarinya saat kelas 6 SD) atau di pelajaran biologi untuk anak SMP dan SMA.Â
Namun, tidak ada salahnya jika orangtua mengenalkannya lebih dulu pada anak. Minimal mengenalkan kosakata yang benar dan tepat pada anak-anak untuk menyebut alat kelamin mereka.
Kedua, pemahaman tentang kesehatan reproduksi
Berkaitan dengan bagaimana cara menjaga kebersihan organ intim agar terhindar dari penyakit atau gangguan reproduksi.
Ketiga, pemahaman akan hak atas otoritas tubuh masing-masing individu
Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah karena ketidaksadaran dan ketidakmampuan untuk menghormati otoritas tubuh masing-masing.
Pemahaman ini menekankan bahwa setiap tubuh, baik laki-laki maupun perempuan, harus dijaga, dilindungi dan dihormati. Kita tidak boleh menyerang atau menyentuh bagian tubuh tertentu dari seseorang tanpa consent (persetujuan) dari orang tersebut.Â
Setiap orang berhak untuk menolak sentuhan dari siapapun pada tubuhnya jika ia merasa tidak nyaman. Sekali pun yang melakukan adalah orang terdekat mereka.
Karena menyentuh, menggelitik atau meraba-raba tubuh seseorang tanpa consent bisa dikatakan pelecehan. Begitu pula dengan komentar bernada seksual atas tubuh seseorang. Jika disertai dengan pemaksaan, intimidasi dan ancaman, itu namanya pemerkosaan.
Keempat, pemahaman tentang konsekuensi dari setiap tindakan
Penting diberikan ketika anak memasuki masa pubertas, di mana anak laki-laki sudah mimpi basah dan anak perempuan sudah menstruasi.
Dulu waktu saya SMP, saya diberi pemahaman oleh salah seorang guru bahwa kami---murid-murid yang rata-rata sudah akil baligh---sudah bisa hamil (bagi yang perempuan) dan bisa membuat anak gadis orang hamil (bagi laki-laki).
Kehamilan di usia remaja, tentu sangat berisiko. Risiko kesehatan tinggi karena organ reproduksi masih dalam masa pertumbuhan sehingga belum siap untuk mengandung dan melahirkan.Â
Secara mental, ia belum siap untuk menjadi orangtua karena namanya remaja, pasti masih ingin bersenang-senang menikmati masa remaja seperti teman-teman lainnya.
Oleh karena itu, kami diperingatkan untuk berhati-hati dalam bergaul karena jika sampai terjadi hal-hal seperti itu, tanggung jawabnya tidak main-main.
Bagaimana Mengajarkan Pendidikan Seks Pada Anak-anak?
Inilah kesalahan mendasar yang kerap dilakukan orangtua. Memang apa sih susahnya mengajarkan anak untuk menyebut dan mengenal apa itu penis, vagina dan payudara?
Seringkali orangtua menyebut organ-organ intim dengan nama lain karena berpikir bahwa menyebut nama atau kosakata aslinya itu vulgar.Â
Kalau menyebut penis, vagina dan payudara dikatakan vulgar, seharusnya di buku-buku biologi dan kedokteran istilah-istilah ini disensor saja.
Mengajarkan kosakata yang benar pada anak untuk menyebut organ-organ reproduksi akan membentuk persepsi positif soal seks sehingga anak tidak malu untuk membicarakan soal tubuh mereka. Misalnya, saat anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan perubahan pada organ intimnya.
Manfaat lainnya adalah memudahkan pemahaman jika anak melaporkan kejadian terkait pelecehan seksual.
Misalnya, anak mengadu pada orangtua bahwa tetangga mereka meraba-raba paha dan menyentuh vagina si anak. Maka ia dapat mendeskripsikan apa yang dialaminya dengan lebih mudah dan jelas sehingga orangtua dapat mengambil tindakan lebih cepat dan tepat.
Kedua mengajarkan anak tentang otonomi tubuh dan consent
Consent adalah persetujuan keterlibatan suatu pihak (bisa kita, pasangan atau siapa saja) dalam situasi atau aktivitas hubungan, khususnya hubungan seksual. Persetujuan yang dimaksud di sini adalah pernyataan tegas dan lugas, "ya", "boleh", "tidak boleh", "tidak mau","berhenti" dan sebagainya.
Consent berkaitan erat dengan otonomi tubuh. Anak berhak menolak dengan mengatakan "tidak" atau "tidak mau" secara lugas dan tegas jika merasa tidak nyaman dengan sentuhan, belaian, pelukan, dekapan, ciuman atau gelitikan. Mereka juga tidak seharusnya dipaksa mencium dan memeluk siapapun tanpa persetujuannya, sekali pun itu anggota keluarga terdekat.
Jika anak tidak terlalu suka dengan sentuhan fisik yang intim, orangtua bisa menawarkan interaksi fisik yang lain, seperti berjabat tangan atau high five.
Ketiga, mengajarkan anak untuk mampu menerapkan batasan
Saat anak sudah lebih besar, ajarkan ia untuk menerapkan batasan siapa saja yang ia perbolehkan untuk membelai, memeluk, mencium.
Misalnya, ia memperbolehkan orangtua untuk membelai, memeluk dan mencium, atau memperbolehkan dokter menyentuh beberapa bagian tubuhnya untuk keperluan pemeriksaan, sementara kalau orang lain yang bukan anggota keluarga tidak boleh main peluk sembarangan dan sebagainya.
Keempat, merespon setiap pertanyaan anak dengan bijak
Jika anak bertanya sesuatu tentang seks, jangan buru-buru dimarahi. Tanyakan saja dulu mengapa ia menanyakan hal itu atau dari mana ia mengetahui hal itu. Kemudian berikan jawaban yang sesuai dengan usia dan tingkat pemahaman anak.
Tidak perlu memberikan jawaban secara detail karena ia pasti belum mampu mencerna semuanya.
Jika tidak tahu dan belum mampu menjawab pertanyaannya, tetap hargai pertanyaan anak dengan mengatakan bahwa pertanyaannya bagus dan berterima kasih karena sudah mau bertanya.Â
Sekalian buat janji dengan anak bahwa Anda akan menjawab pertanyaan itu nanti (entah saat sedang makan malam bersama, akhir pekan atau kapan pokoknya terserah Anda). Jangan sampai anak-anak mencari jawaban dari orang atau sumber-sumber informasi yang tidak jelas.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan anak, terutama seputar seks memang tidak mudah. Pertanyaan-pertanyaan mereka seringkali tidak terduga dan terdengar polos. Semakin polos pertanyaannya justru semakin susah menjawabnya. Â
Jadi, jelaslah bahwa bahasan dalam pendidikan seks bukan hanya tentang persetubuhan antara laki-laki dan perempuan melainkan lebih luas lagi bahkan bisa menjadi salah satu tindakan preventif.
Pendidikan seks tidak sama dengan pornografi. Pornografi bersifat merusak, baik akhlak maupun psikis. Sementara pendidikan seks menghindarkan anak dari paparan buruk pornografi.
Pendidikan seks juga bukan berarti mengajarkan seks bebas pada anak-anak. Justru pendidikan seks mengajarkan agar anak-anak berhati-hati akan aktivitas seksual yang terlarang dan berisiko, baik itu risiko kesehatan, seperti penyakit menular seksual, sampai risiko sosial, seperti kekerasan seksual yang membuat korban malu dan menarik diri dari lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H