Denis Diderot. Pria kelahiran Langres, Champagne, 5 Oktober 1713 ini dikenal sebagai Bapak Ensiklopedi Perancis.
Alkisah, pada abad ke-18 ada seorang filsuf, sastrawan dan dramawan Perancis yang miskin, bernamaKisah ini bermula saat Diderot menerima hadiah berupa mantel sutra berwarna merah kirmizi dari seorang temannya. Sebagai seseorang yang hidup serba kekurangan, ia tentu senang sekali menerima hadiah yang begitu indah dan mahal.
Diderot dikenal sebagai seorang filsuf yang gemar membaca dan memiliki perpustakaan pribadi dengan banyak buku di dalamnya.Â
Hidupnya yang miskin itu kemudian berubah saat Ratu Rusia, Catherine The Great, membeli perpustakaan miliknya dengan harga 1000 GBP pada tahun 1765.
Ketika Diderot tengah mengagumi keindahan mantel pemberian tersebut, ia berpikir bahwa mantel seindah dan semahal itu tidak cocok jika disandingkan dengan perabotan rumahnya yang sederhana. Maka, ia pun memutuskan untuk mengganti semua perabotan di rumahnya dengan perabotan baru yang lebih mewah.
Kursi dari kulit jerami yang sudah lapuk diganti dengan sofa elegan berlapis kulit dari Maroko. Meja tulis yang sudah rongsok diganti dengan meja terbaru. Wallpaper yang sudah koyak diganti dengan yang baru dan berwarna lebih cerah. Mesin cetak yang lama juga diganti dengan yang lebih canggih. Dengan itulah, Diderot merasa bahwa mantel merahnya berada di tempat yang pas dan layak.
Sayangnya, kebiasaan ini menjadi bumerang bagi Diderot sendiri. Ia memiliki banyak utang di sana sini hanya untuk mengubah tampilan rumahnya menjadi lebih mewah. Ia telah diperbudak oleh benda yang dikaguminya sehingga hidupnya menjadi miskin kembali.
Sikap borosnya inilah yang kemudian dikenal dengan nama Diderot Effect atau Efek Diderot.
Adalah Grant McCracken, seorang antropolog berkebangsaan Kanada, yang memperkenalkannya pertama kali pada tahun 1988 melalui bukunya yang berjudul "Culture and Consumption: Approaches New to Symbolic Character of Consumer Goods and Activities".
Secara sederhana, Diderot Effect dapat didefinisikan sebagai perilaku seseorang yang selau ingin membeli barang baru hanya untuk menyejajarkan barang mewah miliknya, meskipun sebenarnya barang itu tidak dibutuhkan.
Misalnya, Anda baru saja membeli baju baru dengan harga mahal dan modelnya sedang hits saat ini. Lalu Anda merasa sayang kalau baju semewah dan semahal itu disandingkan dengan asesoris berharga murah. Akhirnya, Anda membeli sepatu, tas, jam tangan dan asesoris lain yang baru, mahal dan mewah agar lebih serasi digunakan bersama pakaian Anda.
Padahal Anda punya banyak asesoris yang masih bagus dan tetap layak serta serasi digunakan bersama dengan baju baru tersebut.
Dengan demikian, Diderot Effect bisa dikatakan sebagai keputusan pembelian secara reaktif yang sebenarnya tidak diperlukan. Namun kepemilikan barang baru tersebut tidak membuat orang puas sehingga ia akan terus-menerus belanja barang baru.
Perasaan selalu membutuhkan barang baru agar merasa puas dan bahagia inilah yang oleh James Clear, seorang psikolog perilaku, disebut sebagai spiraling consumption atau snowball effect. Dan perilaku boros tersebut adalah gambaran perilaku dan pola konsumsi sebagian besar masyarakat modern saat ini.
Lalu, mengapa orang-orang senang membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan? Bukankah itu hanya membuang-buang uang dan membuat barang menumpuk di rumah?
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan memiliki pengaruh kuat pada sehingga seseorang gemar menghabiskan uangnya untuk membeli sesuatu yang tidak penting.
Hidup di zaman yang materialistis menekankan bahwa kepemilikan atas suatu benda atau materi menjadi sangat penting. Semakin banyak materi yang bisa Anda miliki, Anda akan lebih mudah diterima dalam circle mana pun.
Karena suatu barang yang dimiliki biasanya punya cerita tertentu yang dapat diceritakan pada orang lain sehingga bisa meningkatkan kebanggaan dalam diri pemiliknya.
Misalnya, Anda punya jam tangan mewah. Jam tangan itu pastilah punya cerita yang dapat Anda bagikan, seperti beli di mana, berapa harganya, edisi terbatas atau bukan dan hal-hal lain yang sekiranya dapat Anda pamerkan.
Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan pasangan. Biasa dilakukan oleh laki-laki, baik yang masih lajang atau yang sudah menikah tapi masih suka lirik sana sini (buaya detected), untuk menarik perhatian perempuan pujaannya.
Dan memang ada beberapa perempuan yang mudah silau pada apa yang dikenakan dan dikendarai oleh laki-laki. Maka, selain penampilan yang harus selalu terlihat oke, kendaraan juga perlu dipoles. Bahkan kalau perlu seringlah gonta-ganti mobil.
Tapi yang paling aneh adalah mereka yang gemar belanja ini itu hanya untuk membuat kagum orang-orang yang sebetulnya tidak dikenal.Â
Nah, apakah para seleb yang suka pamer harta di sosmed bisa dimasukkan dalam kategori ini? Silakan, para netizen yang budiman dan budiwati untuk julid dan nyinyir berkomentar.
Cara Mengatasi Diderot Effect
Diderot Effect membuat seseorang tidak mampu memetakan mana kebutuhan mendesak dan mana yang tidak karena selalu menuruti godaan pasar. Akibatnya seseorang bisa terjebak pada tumpukan utang. Jika dibiarkan, maka kondisi finansial kita akan carut-marut.
Lalu bagaimana cara mengatasi Diderot Effect agar tidak terus menggerogoti keuangan kita?
Pertama, menghindari atau mengurangi hal-hal yang menjadi pemicu Diderot Effect, seperti situs-situs atau aplikasi belanja daring, fitur paylater pada aplikasi dompet digital, kartu kredit dan sebagainya.
Kebiasaaan berbelanja saat ini sudah banyak beralih ke belanja daring. Untuk mengurangi Diderot Effect, Anda bisa membatasi jumlah aplikasi belanja daring yang diinstal di smartphone Anda. Pilihlah yang paling menguntungkan.
Jika Anda ingin memanfaatkan fitur paylater atau kartu kredit, ambil limit terkecil. Lalu, maksimalkan pembayaran cicilan dan lakukan secara tepat waktu untuk menghindari denda.
Kedua, waspadai snowball effect.
Pikirkan apakah setiap pembelian yang Anda lakukan akan menimbulkan pembelian lainnya atau tidak? Misalnya, Anda membeli gadget mewah. Apakah setelahnya Anda butuh beli asesoris tambahan yang compatible dengan gadget tersebut?
Jika iya, Anda harus menyediakan dana lebih untuk antisipasi.
Ketiga, terapkan kebiasaan "buy one give one"Â yang berarti setiap Anda membeli satu barang baru, maka Anda harus memberikan satu barang yang Anda miliki pada orang lain. Hal ini sekaligus menanamkan kebiasaan bersedekah kepada yang membutuhkan.
Keempat, belilah sesuatu karena butuh, bukan gengsi.
Kalau punya dana berlebih sih silakan. Tapi kalau tidak, ya tidak perlu memaksakan diri.
Saya lebih memilih mengalahkan gengsi dibanding memaksakan diri untuk punya banyak barang mewah tapi hasil utang sana sini.
Kelima, belajar mengendalikan diri dari belanja hal-hal yang tidak perlu dengan menerapkan satu bulan tanpa membeli barang baru (go one month without buying something).Â
Ini berlaku untuk barang-barang di luar kebutuhan pokok atau yang urgen dan mendesak, ya maksudnya.
Kemudian evaluasilah.Â
Apakah dengan tidak belanja barang baru selama sebulan dapat mengancam kelangsungan hidup Anda? Apakah tidak belanja barang baru selama sebulan telah menghambat produktivitas Anda?
Jika Anda menjawab "tidak", maka bisa dipastikan bahwa itu hanya keinginan, bukan kebutuhan sehingga Anda tidak wajib membeli barang tersebut sesegera mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H