Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Yogyakarta, Gentrifikasi, dan Alarm Krisis Air

24 Maret 2021   08:51 Diperbarui: 25 Maret 2021   08:14 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi deretan hotel di kawasan Malioboro (sekitar Stasiun Tugu) Yogyakarta-republika.co.id

Riset terkait dampak pembangunan hotel di Yogyakarta terhadap krisis air oleh Eko Teguh Purnomo---peneliti Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta---mengungkapkan sejak tahun 2006 telah terjadi penurunan permukaan air tanah hingga 15-50 sentimeter per tahun.

Akibatnya, warga kesulitan menjangkau air tanah. Sumur-sumur warga kering. Warga pun kesulitan memperoleh air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tingkat ketergantungan warga Yogyakarta terhadap air tanah terbilang tinggi. Sekitar 51,83% kebutuhan air warga masih dipenuhi dari air tanah.

Dengan maraknya pembangunan hotel yang kebanyakan berdekatan dengan pemukiman warga, warga jadi harus berebut air dengan hotel. Karena sebagian besar kebutuhan air bersih untuk hotel juga dipenuhi dari air tanah.

Padahal peraturan Wali Kota (Perwal) nomor 3 tahun 2014 tentang penyediaan air baku untuk usaha perhotelan di Kota Yogyakarta Pasal 5, mewajibkan seluruh hotel di Kota Yogyakarta menggunakan air dari PDAM Tirtamarta. Sayangnya aturan ini belum sepenuhnya ditaati.

Tercatat dari sekitar 418 hotel yang berdiri di Kota Yogyakarta, baru 156 hotel saja yang menggunakan air PDAM Tirtamarta dalam kegiatan operasionalnya.

Salah satu alasan utamanya adalah masih banyak pengusaha hotel yang memandang penggunaan air PDAM akan memakan biaya operasional lebih besar.

Hotel dengan 400 kamar saja menghabiskan biaya sekitar Rp 2 miliar per bulan jika menggunakan air PDAM. Sementara kalau membuat sumur dalam (sumber airnya adalah air tanah) hanya mengeluarkan biaya Rp 500 juta per bulan.

Apalagi tarif pajak air tanah di Yogyakarta terbilang murah, yaitu hanya Rp 2.000 per meter kubik. Tarif ini jauh lebih murah daripada tarif air PDAM untuk pelanggan komersil---yang di dalamnya mencakup perhotelan---yang tarif pajaknya mencapai Rp 16.500 per meter kubik.

Selain rawan krisis air, penggunaan air tanah juga berisiko bagi kesehatan masyarakat. Sebesar 90% air tanah di Kota Yogyakarta tercemar bakteri Eschericia coli. Konsumsi air yang tercemar bakteri ini dapat menyebabkan seseorang terserang diare, gangguan ginjal, penyakit jantung dan meningkatkan risiko hipertensi.

Wasana Kata

Pembangunan tidak selalu berdampak negatif selama memenuhi aturan tertentu dan tidak mengorbankan hak masyarakat kecil serta merusak lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun