Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Childfree Marriage dan Gugatan Atas Definisi "Menjadi Perempuan Utuh"

16 Maret 2021   11:03 Diperbarui: 16 Maret 2021   11:55 2933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuliah-lulus-kerja-menikah-punya anak-pensiun-mati. Ini adalah siklus hidup yang "idealnya" dijalani oleh mayoritas manusia. 

Jika tidak mengikuti tahapan itu, tandanya aneh, tidak lazim. 

Masalahnya, jalan hidup setiap orang beda-beda. Bukankah hidup sendiri adalah pilihan?

Berarti boleh dong, kalau tahapan itu tidak dijalankan berurutan? 

Misalnya, masih kuliah dan belum lulus tapi mau nikah dulu. Lalu, karena umur dirasa masih sangat muda, masih mau fokus menyelesaikan kuliah. Setelah itu mau bekerja dulu. Jadinya menunda kehamilan agar bisa fokus pada studi dan karir.

Atau, dari tahapan tersebut ada yang tidak dijalankan. 

Misalnya, lulus kuliah-bekerja-menikah tapi memilih untuk tidak memiliki anak. 

Padahal kuliah sudah lulus. Pekerjaan mentereng. Finansial mapan. Pasangan ada. Secara fisik dan mental juga sehat. 

Tapi memutuskan untuk menjalani hubungan pernikahan tanpa anak. Apa yang Anda pikirkan tentang pasangan ini?

"Egois banget! Pasti dia cuma pengen seneng-seneng doang."

"Kalau kamu nggak punya anak, terus kalau kamu tua dan meninggal, siapa yang mau ngurus kamu?"

"Dia pasti cuma mementingkan diri sendiri. Ntar kalau bangsa ini punah gimana?"

Ya, respon-respon seperti inilah yang sering diterima oleh pasangan suami-istri yang memutuskan untuk tidak memiliki anak atau dikenal dengan istilah childfree marriage.

Cap "egois" sudah sering mereka terima dari lingkungan akibat pilihan yang tidak lazim ini.

Padahal childfree marriage tidak ada hubungannya dengan tingkat keegoisan seseorang. Tidak ada pula bukti empiris yang menyatakan kalau pasangan childfree itu lebih egois dibandingkan pasangan yang memiliki anak. 

Alasan-alasan Pasangan Memilih Menjalani Childfree Marriage

Hampir semua budaya menganjurkan manusia untuk berkembang biak. 

Melahirkan anak, selain untuk meneruskan garis keturunan agar tidak punah juga dianggap menjaga keberlangsungan peradaban apabila anak yang dilahirkan adalah anak yang bermanfaat bagi sesama. Oleh karena itu, childfree marriage dianggap seolah dapat memusnahkan peradaban suatu bangsa karena tidak berjalannya fungsi prokreasi.

Ada pun beberapa alasan mengapa pasangan suami-istri memilih untuk tidak memiliki anak antara lain :

  • Pertimbangan finansial, yaitu membutuhkan biaya besar untuk membesarkan anak
  • Pertimbangan kesehatan fisik dan mental, seperti baby blues syndrome 
  • Menganggap bahwa masih banyak anak-anak terlantar (bisa jadi merupakan anak-anak yatim-piatu maupun anak-anak yang dengan sengaja "dibuang dan ditelantarkan" oleh orangtuanya) di luar sana yang butuh pertolongan sehingga berpikir lebih baik mengasuh mereka dibanding bikin anak baru
  • Populasi manusia di bumi sudah sangat banyak sehingga dengan melahirkan anak berarti akan membuat bumi makin sesak.
  • Masalah lingkungan, sosial, ekonomi, politik dan keamanan, membuat mereka tidak tega melahirkan dan membesarkan seorang anak di tengah kondisi dunia yang kejam dan semakin rusak
  • Takut tidak dapat menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak
  • Ingin lebih bebas dan fokus dalam menjalani hal-hal yang diinginkan, seperti pendidikan, karir, aktif dalam berbagai komunitas atau kegiatan-kegiatan sosial, jalan-jalan keliling dunia dan sebagainya
  • Merasa tidak tertarik untuk memiliki anak

Menggugat Definisi 'Perempuan Utuh'

Dalam masyarakat "patriarch", gambaran keluarga ideal selalu terdiri dari ayah, ibu dan anak. 

Pasangan yang tidak memiliki keturunan---entah karena mereka menjalani childfree marriage atau karena keadaan tertentu (kemandulan, misalnya)---lagi-lagi yang banyak disudutkan adalah perempuan. 

Makanya, perempuan itu baru bisa diakui sebagai perempuan yang 'utuh' alias benar-benar perempuan sejati kalau sudah menjadi istri dan ibu.

Jadi, perempuan yang belum menikah dan perempuan yang sudah menikah tapi tidak memiliki anak biologis dianggap sebagai perempuan yang tidak 'utuh' (not true woman). Sebab, katanya perempuan itu kodratnya adalah menjadi istri dan ibu.

Menjadi ibu disini maksudnya tentu saja harus melahirkan dan membesarkan anak sendiri. Punya anak biologis. 

Anak tiri, anak angkat, anak ideologis apalagi anak tetangga, tidak masuk hitungan. Maka, kalau kodrat itu belum atau tidak terpenuhi, bisa diartikan ia less feminine, belum menjadi perempuan sejati. 

Belum lagi kalau berhadapan dengan kelompok yang suka mengancam pakai ayat-ayat kitab suci. 

"Penghuni neraka itu paling banyak adalah perempuan."

Don't get me wrong. Saya bukannya anti agama. Tapi, apakah tidak ada cara lain yang lebih bijaksana dan menentramkan hati selain dengan membawa narasi azab dan ancaman neraka? 

Terlepas dari konsekuensi agama atau sosial, sejatinya masyarakat kita belum terbiasa menghadapi individu-individu yang memiliki pilihan hidup berbeda dari kebanyakan orang. 

Padahal kalau kita mau sedikit saja memahami perbedaan-perbedaan itu, bisa saja kita menemukan titik temu. 

Barangkali kita dan dia memiliki concern yang sama terhadap permasalahan tertentu, hanya cara menghadapi dan menyelesaikannya yang berbeda. 

Saya pakai cara A. Anda pakai cara B. Tapi, kita sama-sama peduli pada masalah C. Mungkin kan terjadi seperti ini? 

Akhirnya jadi gumunan, latah, ikut-ikutan menghakimi mereka yang dianggap berseberangan dan berbeda dengan kelompok mayoritas. 

Sedikit-sedikit disikapi secara emosional bukan rasional. 

Saya tidak akan memberi judgement apakah childfree marriage itu tindakan yang benar atau salah, boleh atau tidak boleh, halal atau haram. 

Tapi memberi cap kepada perempuan yang tidak melahirkan seorang anak sebagai kurang feminin, bukan perempuan sejati atau tidak utuh sebagai perempuan adalah tindakan yang menyakitkan bagi perempuan. 

Karena siapa pun dia, apapun status dan posisinya dalam masyarakat, bagaimana pun kondisinya, seorang perempuan tetaplah perempuan. Mereka adalah individu yang utuh dengan segala kekuatan dan kelemahannya. 

Kalau pun seorang perempuan tidak melahirkan anak, setidaknya mereka dapat melahirkan kebaikan, keteladanan maupun ilmu yang bermanfaat bagi sesama. Bukankah itu adalah tugas setiap manusia, termasuk perempuan? 

Referensi : satu, dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun