Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menjadi Konsumtif yang Bijak, Memang Bisa?

4 Maret 2021   11:52 Diperbarui: 4 Maret 2021   18:15 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda pasti sudah tidak asing dengan nasihat, "rajin menabung pangkal kaya" bukan? Nah, sejak kecil kita juga sudah diajarkan bahwa salah satu cara membangun kebiasaan hidup hemat adalah dengan menabung.

Perencana keuangan pun sering memberi nasihat agar kita memiliki rencana keuangan yang jelas dan disiplin dalam menjalankannya. Hal ini termasuk juga menghindari perilaku konsumtif dan menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk ditabung. 

Sementara itu, kita berhadapan dengan kondisi di mana pandemi Covid-19 telah membuat roda perekonomian tersendat akibat tidak adanya perputaran ekonomi antara penjual dan pembeli. Penyebabnya tidak lain adalah daya beli masyarakat yang turun.

Menurut laporan McKinsey, selama pandemi Covid-19 ini, sebesar 83% konsumen lebih berhati-hati dalam berbelanja dan sekitar 65% konsumen mengurangi pengeluaran. 

Di sisi lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa, menyebutkan daya beli masyarakat hilang sebesar Rp 362 triliun akibat pandemi Covid-19.

Penurunan daya beli masyarakat ini menyebabkan konsumen cenderung mengurangi konsumsi dan lebih banyak menyimpan uang. 

Ada sebuah komentar menarik dari rekan Kompasianer, Bapak Handy Pranowo, di artikel saya yang berjudul "Middle Income Trap: Jebakan Finansial yang Membuat Kelas Menengah Sulit Naik Kelas". Beliau mengatakan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia itu konsumtif. 

Dalam artikel berjudul "Negara Butuh Masyarakat Konsumtif?" (tautan dapat dibaca disini), tindakan masyarakat yang lebih memilih menyimpan uang dibanding berbelanja justru membuat perekonomian negara menjadi stagnan.

Jadi, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa orang Indonesia cenderung konsumtif? Apakah perilaku konsumtif itu baik atau buruk? Lalu, bagaimana cara menjadi konsumtif yang bijak?

Faktor-faktor Penyebab Perilaku Konsumtif

Sebenarnya perilaku konsumtif merupakan sifat alamiah manusia. Hal ini diterangkan oleh Rolf Dobelli dalam bukunya "The Art of Thinking Clearly" (2015), bahwa perilaku tersebut didasarkan pada psikologis manusia untuk berperilaku hedonistik dan psikologi scarcity error, yaitu kondisi di mana sering salah menimbang kelangkaan dari sesuatu.

Adanya promo, diskon, cashback yang sering diberikan oleh e-commerce dan penyedia jasa fintech adalah cara yang ampuh untuk memicu kerja scarcity error pada seseorang. 

Diskon dan cashback yang diberikan dalam rentang waktu terbatas akan memberi efek bahwa barang atau jasa yang ditawarkan seolah memiliki nilai lebih sehingga sayang jika dilewatkan. Makanya, orang bisa kalap belanja hanya untuk mengejar diskon dan cashback.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif seseorang antara lain :

Perspektif jangka pendek

Masyarakat kita rata-rata mudah tergoda dengan diskon dan cashback sehingga seringkali membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan. Kemudian, kesadaran akan pentingnya kebutuhan jangka panjang yang masih rendah menyebabkan mereka belum menyiapkannya sejak dini.

Pengaruh lingkungan

Hal ini terutama dialami oleh anak-anak muda perkotaan. Karena sering diajak teman-teman nongkrong di mal atau coffee shop mahal, akhirnya mau tidak mau ikut. Kalau tidak ikut, takut dibilang sombong dan nggak asik. Karena melihat teman setongkrongan pakai barang branded, kita nggak mau kalah. Ingin punya juga. Bahkan kalau perlu yang lebih mahal dari yang dimiliki teman kita.

Prestise

Adanya rasa bangga dalam diri kita ketika bisa memiliki barang mewah nan mahal dengan merek tertentu. Apalagi kalau barangnya impor. Keinginan untuk diakui sebagai "orang berada" inilah yang mendorong orang bersikap konsumtif.

Kurangnya kesadaran terhadap masalah lingkungan

Sebenarnya telah banyak kampanye-kampanye untuk menjaga lingkungan, seperti mengurangi penggunaan kantong plastik, thrifting untuk mengurangi sampah tekstil, membeli makanan secukupnya dan dihabiskan untuk mengurangi sampah makanan dan sebagainya. Sayangnya, itu semua masih sebatas teori. Belum banyak yang benar-benar menerapkannya.

Adaptasi teknologi

Adanya e-commerce telah membuat kegiatan berbelanja jadi lebih mudah dan praktis. Hanya bermodalkan ponsel pintar, Anda bisa mencari dan mendapatkan barang yang diinginkan. Hal ini juga didukung dengan kemudahan dalam pembayaran karena bisa dilakukan secara non tunai.

Meniru public figure

Kecenderungan untuk meniru gaya para influencer maupun selebriti papan atas karena rasa suka pada public figure tersebut dibandingkan dengan produknya sendiri

Apakah Perilaku Konsumtif Itu Baik atau Buruk?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat perilaku konsumtif dari dua sudut pandang yang berbeda. 

Dari sudut pandang ekonomi mikro, perilaku konsumtif bisa jadi berbahaya bagi kondisi keuangan individu. Oleh karena itu, disarankan untuk menabung agar tercipta akumulasi kekayaan.

Sementara, dalam konteks ekonomi makro, akumulasi kekayaan membutuhkan perputaran uang yang masif dan kontinyu. Itulah sebabnya, jika terlalu banyak orang menabung dan sedikit orang berbelanja akan membuat pertumbuhan ekonomi tersendat.

Oleh karena itu, pemerintah sampai membuat berbagai kebijakan guna mendorong daya beli masyarakat, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), pemberian insentif pajak, relaksasi kredit untuk UMKM, bantuan uang muka rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sebagainya. Hal ini bertujuan agar ada perputaran ekonomi antara produsen dan konsumen, agar sektor-sektor usaha (terutama UMKM) bisa hidup dan bergerak kembali.

Jika daya beli turun, lantas siapa yang akan membeli barang dan/atau jasa yang ditawarkan? Jika tidak ada konsumsi, bagaimana suatu usaha bisa hidup dan memperoleh pendapatan? Jika tidak ada pendapatan, bagaimana bisa membiayai pengeluaran operasional, termasuk gaji karyawan?

Maka, tidak heran ketika pandemi Covid-19 banyak usaha yang gulung tikar atau mengurangi jumlah karyawan untuk mengurangi beban operasional.

Akhirnya, terjadi PHK massal di mana-mana. Angka pengangguran meningkat tajam. Banyak orang kehilangan pekerjaan yang berarti kehilangan penghasilan. Beberapa yang beruntung masih bekerja, banyak yang penghasilannya dipotong.

Bukankah ini semua saling berkaitan satu sama lain?

Dengan demikian, nasihat "rajin menabung pangkal kaya" menjadi tidak relevan dan harus diganti dengan "rajin berinvestasi pangkal kaya".

Jadilah Konsumtif yang Bijak 

Kehidupan kita tidak bisa dipisahkan dari kegiatan konsumsi. Hal ini wajar karena manusia memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. 

Jika tidak melakukan kegiatan konsumsi, kita tidak dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidup kita. Sementara pelaku usaha tidak dapat memperoleh pendapatan jika tidak ada konsumen yang membeli barang atau jasa yang mereka jual. Hal ini tentu akan membuat usaha mereka macet bahkan mati. 

Sebagaimana nasihat yang kerap kita dengar bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidak baik, konsumsi yang berlebihan pun demikian. 

Menerapkan pola konsumsi yang bijak adalah cara untuk mengendalikan keuangan kita tanpa harus mengorbankan kebutuhan, kemudahan maupun kenyamanan. 

Membeli dan menggunakan sesuatu sesuai dengan kebutuhan, memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan, memilih produk-produk yang berkualitas baik dengan masa pakai yang lebih panjang, utamakan membeli produk lokal untuk memajukan usaha masyarakat, adalah beberapa contoh dari pola konsumsi yang bijak. 

Bersikap bijak ketika berkonsumsi juga berarti turut mendukung konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption) yang nantinya akan berpengaruh terhadap lingkungan, kesehatan dan kemanusiaan. 

Nah, apa dan bagaimana konsumsi berkelanjutan dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan umat manusia? 

Jawabannya akan saya berikan di artikel berikutnya. 

Referensi : satu, dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun