Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menjadi Konsumtif yang Bijak, Memang Bisa?

4 Maret 2021   11:52 Diperbarui: 4 Maret 2021   18:15 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perilaku konsumtif | sumber: kompas.com

Adanya e-commerce telah membuat kegiatan berbelanja jadi lebih mudah dan praktis. Hanya bermodalkan ponsel pintar, Anda bisa mencari dan mendapatkan barang yang diinginkan. Hal ini juga didukung dengan kemudahan dalam pembayaran karena bisa dilakukan secara non tunai.

Meniru public figure

Kecenderungan untuk meniru gaya para influencer maupun selebriti papan atas karena rasa suka pada public figure tersebut dibandingkan dengan produknya sendiri

Apakah Perilaku Konsumtif Itu Baik atau Buruk?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat perilaku konsumtif dari dua sudut pandang yang berbeda. 

Dari sudut pandang ekonomi mikro, perilaku konsumtif bisa jadi berbahaya bagi kondisi keuangan individu. Oleh karena itu, disarankan untuk menabung agar tercipta akumulasi kekayaan.

Sementara, dalam konteks ekonomi makro, akumulasi kekayaan membutuhkan perputaran uang yang masif dan kontinyu. Itulah sebabnya, jika terlalu banyak orang menabung dan sedikit orang berbelanja akan membuat pertumbuhan ekonomi tersendat.

Oleh karena itu, pemerintah sampai membuat berbagai kebijakan guna mendorong daya beli masyarakat, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), pemberian insentif pajak, relaksasi kredit untuk UMKM, bantuan uang muka rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sebagainya. Hal ini bertujuan agar ada perputaran ekonomi antara produsen dan konsumen, agar sektor-sektor usaha (terutama UMKM) bisa hidup dan bergerak kembali.

Jika daya beli turun, lantas siapa yang akan membeli barang dan/atau jasa yang ditawarkan? Jika tidak ada konsumsi, bagaimana suatu usaha bisa hidup dan memperoleh pendapatan? Jika tidak ada pendapatan, bagaimana bisa membiayai pengeluaran operasional, termasuk gaji karyawan?

Maka, tidak heran ketika pandemi Covid-19 banyak usaha yang gulung tikar atau mengurangi jumlah karyawan untuk mengurangi beban operasional.

Akhirnya, terjadi PHK massal di mana-mana. Angka pengangguran meningkat tajam. Banyak orang kehilangan pekerjaan yang berarti kehilangan penghasilan. Beberapa yang beruntung masih bekerja, banyak yang penghasilannya dipotong.

Bukankah ini semua saling berkaitan satu sama lain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun