Dalam sebuah video di YouTube Deddy Corbuzier, musisi muda, Nadine Amizah, pernah mengatakan, "Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya kamu akan lebih mudah jadi orang baik. Dan saat kita miskin, rasa benci kita pada dunia itu sudah terlalu besar sampai kita enggak punya waktu untuk baik sama orang lain lagi."
Akibat dari pernyataannya itu, banyak netizen menyerangnya karena Nadine dianggap telah merendahkan orang miskin. Sampai akhirnya ia menyampaikan permintaan maaf melalui akun twitter pribadinya.Â
Sebagaimana keriuhan lain yang pernah terjadi di dunia maya, suara netizen biasanya terbagi menjadi pro dan kontra. Mereka yang pro biasanya akan membela atau mencari pembenaran. Sedangkan yang kontra biasanya akan menyindir atau menghujat.Â
Mereka yang menyindir atau menghujat biasanya berdalih bahwa mereka sedang mengedukasi, menyadarkan atau memberi tahu yang "benar". Tapi, apa iya harus disampaikan dengan sinis dan marah-marah?Â
Mengenal Woke Culture
Kalau Anda pernah terlibat dalam perdebatan sengit di dunia maya, Anda pasti familiar dengan netizen yang kelihatannya "melek" banget terhadap suatu isu sosial, lalu berusaha memberi tahu yang "benar", tapi sambil nge-gas.Â
Alih-alih mengedukasi, mengingatkan atau memberi tahu yang benar, mereka ini jadinya malah menyudutkan.Â
Nah, fenomena inilah yang kerap disebut sebagai woke culture.Â
Woke adalah istilah yang populer digunakan di Amerika Serikat, yang mengacu pada kesadaran akan isu-isu yang menyangkut keadilan sosial dan rasial.Â
Istilah woke atau stay woke pertama kali dicetuskan oleh musisi kulit hitam, Lead Belly, dalam sebuah rekaman Scottsboro Boys yang dirilis pada tahun 1938 silam.Â
Ia menggunakan frasa stay woke untuk mengingatkan akan ancaman rasisme terhadap warga kulit hitam.Â
Jika dilihat dari sejarahnya, penggunaan istilah woke atau stay woke memang erat kaitannya dengan komunitas kulit hitam sebagai akibat dari diskriminasi dan kekerasan rasial yang kerap mereka terima dari orang-orang kulit putih.Â
Oleh karena itu, woke culture atau wokeism sering digunakan sebagai jargon gerakan Black Lives Matter (BLM).Â
Pada perkembangannya di era modern, wokeism digunakan dalam konteks aktivisme umum. Inilah sebabnya, mereka yang rajin mengamati ketidakadilan sosial dan berusaha membangun kesadaran terhadap hal itu, sering disebut sebagai orang yang 'woke'.Â
Kritik Atas Woke CultureÂ
Woke culture pada dasarnya memiliki agenda atau tujuan yang baik, yaitu menyadarkan siapa pun tentang isu-isu sosial dan mengajak orang lain untuk melakukan aksi nyata.Â
Namun, kenyataannya, kini istilah woke atau stay woke mengalami peyorasi sehingga orang-orang sering bereaksi sinis terhadapnya.Â
Hampir sama dengan istilah SJW (Social Justice Warrior) atau dalam bahasa Indonesia berarti Pejuang Keadilan Sosial. Tidak jarang mereka dicap sebagai orang yang galak, ribet dan tidak simpatik ketika memberi tahu orang lain.Â
Makanya kadang muncul sindiran seperti, "maha benar SJW dengan segala firmannya", "SJW can do no wrong", "kebenaran hanya milik SJW" dan lain-lain.Â
Kritik tentang woke culture pernah diungkapkan oleh kolumnis, Alex Beams, pada 2017 lalu melalui artikel yang berjudul "Not Woke and Never Will Be". Beams mengatakan dalam artikelnya bahwa woke culture ini semata-mata untuk mengotak-ngotakkan manusia.Â
"Tujuan utama woke culture adalah untuk membagi dunia menjadi kelompok yang super sadar soal isu sosial, orang-orang yang mengklaim diri sendiri sebagai pengawas omongan serta perilaku dan sisanya adalah orang-orang biasa"Â
-Alex Beams-
Kritik tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, mereka yang woke alias sadar dianggap sering menghakimi orang-orang yang tidak peduli atau belum paham tentang isu-isu sosial tertentu.Â
Penghakiman yang diberikan ini, misalnya, dengan menyudutkan atau memboikot pihak-pihak yang pandangannya dianggap berseberangan dengan kaum 'woke' atau berpihak pada ketidakadilan.Â
Hal ini justru menyebabkan orang-orang alergi duluan pada isu-isu sosial.Â
Bisa juga malah menyurutkan motivasi dan semangat orang-orang yang memang peduli pada isu-isu sosial untuk berbicara dan bergerak secara nyata karena kadung distigma negatif oleh mereka yang alergi.Â
How to Be Woke Without Being JudgementalÂ
Menjadi orang yang 'woke' alias 'sadar' pada isu-isu sosial itu bagus karena dapat mengasah empati dan menilai suatu hal dari beragam sudut pandang.Â
Lalu, gimana sih cara menjadi orang yang woke tanpa main hakim sendiri, tanpa merasa benar sendiri?Â
1. Jangan malu untuk belajar dari apapun dan siapa punÂ
Belajar disini bisa juga dengan mengamati apa yang terjadi di sekitar kita.Â
Barangkali ada sesuatu "yang tidak beres" dan sudah membudaya saking biasa dilakukan, tapi kita tidak sadar.Â
Misalnya, ada teman yang kalau bercanda suka menghina fisik. Hal itu mungkin sudah dianggap biasa saking seringnya dilakukan. Tapi bagaimana kalau candaannya itu ternyata menyakiti teman yang dihina?Â
Jika Anda tahu apa itu body shaming, misalnya, dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi self esteem seseorang, Anda tentu bisa lebih berhati-hati untuk tidak menghina fisik orang lain.Â
Belajarlah untuk menjadi manusia yang terasah, baik kognitif maupun empatinya.Â
2. Bagikan apa yang Anda ketahuiÂ
Menulis di Kompasiana ini salah satunya. Anda tidak perlu menjadi seorang aktivis atau ahli dalam bidang tertentu untuk menuliskan pemikiran Anda disini. Â
Selama tulisan Anda bisa dipertanggungjawabkan, tidak masalah siapa atau apapun title Anda.Â
Siapa tahu ada pembaca yang tercerahkan pikirannya dan terbangkitkan kesadarannya sehingga lebih peka terhadap ketidakadilan di sekitar kita.Â
Siapa tahu setelah membaca tulisan kita, ia tergerak untuk membuat perubahan. Minimal untuk dirinya.Â
Oiya, kalau memang ada yang belum paham, beritahu dengan baik, ya. Jangan galak-galak.Â
Perkara ia menerima atau menolak, itu bukan urusan kita. Kan tugas kita hanya menyampaikan.Â
3. Bersikap terbuka dan tolerir terhadap pandangan yang berbedaÂ
Bersikap terbuka (open minded) dan tolerir bukan berarti selalu setuju atau menerima semua pendapat.Â
Siapa pun boleh tidak setuju atas suatu pendapat, namun tetap menghargai perbedaan itu. Jangan sampai ketidaksetujuan terhadap pandangan orang lain membuat kita menyebarkan kebencian dan permusuhan.Â
Jangan pula merasa diri paling tahu dan benar.Â
Sampaikan ketidaksetujuan Anda dengan alasan yang rasional bukan emosional.Â
4. Mulailah dari hal-hal kecil dan sederhana
Jika Anda adalah orang yang woke tentang kesetaraan gender, seharusnya Anda tidak merundung laki-laki yang menangis atau melakukan victim blaming terhadap korban pelecehan seksual.Â
Jika Anda adalah orang yang woke perihal toleransi beragama, seharusnya Anda tidak mudah mengkafir-kafirkan orang secara serampangan.Â
Jika Anda adalah orang yang woke masalah lingkungan, Anda bisa memulainya dengan membawa tas belanja sendiri untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.Â
Menjadi orang yang woke dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari itu memang tidak mudah. Sulit mengubah pola pikir dan kebiasaan dalam waktu singkat. Semua butuh proses.Â
Tapi, dengan terus belajar dan mempraktikkannya melalui hal-hal kecil dan sederhana pun, itu jauh lebih baik daripada sekadar ikut-ikutan menghujat mereka yang (mungkin) belum paham biar dikira woke.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H