Istilah woke atau stay woke pertama kali dicetuskan oleh musisi kulit hitam, Lead Belly, dalam sebuah rekaman Scottsboro Boys yang dirilis pada tahun 1938 silam.Â
Ia menggunakan frasa stay woke untuk mengingatkan akan ancaman rasisme terhadap warga kulit hitam.Â
Jika dilihat dari sejarahnya, penggunaan istilah woke atau stay woke memang erat kaitannya dengan komunitas kulit hitam sebagai akibat dari diskriminasi dan kekerasan rasial yang kerap mereka terima dari orang-orang kulit putih.Â
Oleh karena itu, woke culture atau wokeism sering digunakan sebagai jargon gerakan Black Lives Matter (BLM).Â
Pada perkembangannya di era modern, wokeism digunakan dalam konteks aktivisme umum. Inilah sebabnya, mereka yang rajin mengamati ketidakadilan sosial dan berusaha membangun kesadaran terhadap hal itu, sering disebut sebagai orang yang 'woke'.Â
Kritik Atas Woke CultureÂ
Woke culture pada dasarnya memiliki agenda atau tujuan yang baik, yaitu menyadarkan siapa pun tentang isu-isu sosial dan mengajak orang lain untuk melakukan aksi nyata.Â
Namun, kenyataannya, kini istilah woke atau stay woke mengalami peyorasi sehingga orang-orang sering bereaksi sinis terhadapnya.Â
Hampir sama dengan istilah SJW (Social Justice Warrior) atau dalam bahasa Indonesia berarti Pejuang Keadilan Sosial. Tidak jarang mereka dicap sebagai orang yang galak, ribet dan tidak simpatik ketika memberi tahu orang lain.Â
Makanya kadang muncul sindiran seperti, "maha benar SJW dengan segala firmannya", "SJW can do no wrong", "kebenaran hanya milik SJW" dan lain-lain.Â
Kritik tentang woke culture pernah diungkapkan oleh kolumnis, Alex Beams, pada 2017 lalu melalui artikel yang berjudul "Not Woke and Never Will Be". Beams mengatakan dalam artikelnya bahwa woke culture ini semata-mata untuk mengotak-ngotakkan manusia.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!