Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Generasi Sandwich: Berkah atau Beban?

8 Desember 2020   06:14 Diperbarui: 30 April 2021   10:46 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi generasi sandwich-lifepal.co.id

Ada yang bilang bahwa menjadi generasi sandwich itu harusnya bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk berbakti dan membalas kebaikan orang tua. Orang tua memang telah mengorbankan banyak hal demi anaknya. 

Mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, memberikan makanan bergizi, merawat ketika kita sakit, memilihkan sekolah dan tempat les terbaik, bahkan kalau perlu memilihkan pasangan hidup sekalian. Jadi, tidak pantas rasanya jika seorang anak malah mengeluh atau menjadikan hal itu sebagai beban.

Sementara yang lain bilang bahwa menjadi generasi sandwich itu adalah beban. Karena mereka harus membiayai dan menghidupi dua keluarga sekaligus, yaitu pasangan dan/atau anak-anak serta orang tua. Apalagi kalau anak-anaknya masih kecil atau masih bersekolah. 

Di satu sisi harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab terhadap pasangan dan/atau anak-anak. Namun di sisi lain harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab juga terhadap orang tua. 

Mereka yang berada di posisi ini kadang merasa dilema karena tidak mungkin jika harus mengorbankan salah satunya. Akhirnya mereka harus bekerja ekstra keras agar memperoleh penghasilan tambahan sehingga dapat mencukupi kebutuhan dua rumah. Hal ini menyebabkan mereka jadi lupa untuk memperhatikan dirinya sehingga rentan mengalami kelelahan fisik dan mental. 

Mereka akan dirundung perasaan bahwa semua orang bergantung padanya. Ia harus memperhatikan semua orang tapi tidak ada yang memperhatikan kondisinya. 

"Lalu, siapa yang akan peduli dan memperhatikanku?" 

Begitu kira-kira yang ada dalam benak beberapa generasi sandwich yang merasa bebannya sudah terlalu berat. 

Orang-orang yang berada di situasi seperti ini sering disebut sebagai generasi sandwich. Apa itu generasi sandwich? 

Generasi sandwich adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang harus membiayai hidup generasi sebelumnya (orang tua) dan generasi setelahnya (anak-anak atau adik-adik). Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Dorothy. A. Miller pada tahun 1981 melalui jurnalnya yang berjudul : The Sandwich Generation : Adult Children of the Aging. 

Baca Juga: Beban di Atas dan Bawah, Inilah Generasi Sandwich

Faktor-faktor Munculnya Generasi Sandwich di Indonesia

Fenomena ini merupakan hal yang lumrah terjadi di Indonesia karena berbagai faktor berikut.

1. Nilai kekeluargaan 

Di Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai ketimuran dan nilai-nilai kekeluargaan, anak yang telah dewasa dan bekerja dianggap sudah sepantasnya membiayai hidup orang tuanya. Walaupun berat, tapi tetap harus dilakukan atau ia akan dicap sebagai anak durhaka. 

2. Tuntutan sosial 

Ketika anak sudah dewasa, lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, orang tua biasanya akan menyuruh anaknya untuk segera menikah tanpa memperhatikan apakah sang anak sudah siap secara mental dan finansial untuk berumah tangga. Jika tidak, biasanya bakal jadi bahan gunjingan dan nyinyiran tetangga bahkan keluarga besar. Bukan bermaksud apa-apa, tapi kebutuhan hidup sekarang makin mahal. 

3. Kurangnya pemahaman tentang literasi finansial 

Kurangnya pemahaman tentang literasi finansial menyebabkan orang tidak mempersiapkan dana pensiun dengan baik sehingga hanya menggantungkan hidup pada anak. Seolah-olah anak adalah investasi hari tua paling ampuh. 

Perempuan Generasi Sandwich Lebih Rentan Mengalami Stres

Walaupun generasi sandwich bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan, namun perempuan menanggung tekanan dan tuntutan sosial yang lebih berat. Laki-laki telah dinilai bertanggung jawab ketika mereka bisa memberi nafkah, baik kepada istri, anak, orang tua bahkan adik-adiknya (jika ia punya adik yang masih sekolah, misalnya). Sebatas itu saja sudah cukup. 

Sementara perempuan, selain ia harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, ia masih dibebani tugas mengerjakan pekerjaan rumah (memasak, bersih-bersih, mencuci dan sebagainya), mengurus suami (jika ada), mengasuh anak dan orang tua. Jika salah satu saja dari hal-hal tersebut gagal dipenuhi, orang-orang akan menganggapnya sebagai perempuan gagal. 

Oleh karena itu, banyak perempuan yang telah berkeluarga merasa tidak punya waktu lagi untuk dirinya sehingga mengakibatkan stres dan depresi. Dalam keadaan yang lebih ekstrem, kondisi ini bisa berpengaruh buruk terhadap produktivitas kerja, relasinya dengan rekan kerja, teman-teman, pasangan dan anak-anaknya. 

Bagaimana Cara Mengurangi Beban Generasi Sandwich?

ilustrasi literasi keuangan-economy.okezone.com
ilustrasi literasi keuangan-economy.okezone.com

1. Komunikasikan kondisi keuangan kita pada orang tua

Bicarakan tentang kondisi keuangan kita pada mereka, seperti pendapatan, rencana-rencana keuangan jangka pendek maupun panjang dan yang lebih penting adalah berapa kesanggupan kita dalam membiayai kebutuhan hidup orang tua. Tentu tidak salah membiayai kebutuhan hidup orang tua, namun jangan sampai kebutuhan anak-anak atau diri kita sendiri malah tidak terpenuhi. 

Ingat, yang perlu dipenuhi adalah kebutuhan hidup bukan keinginan. Jadi, kalau orang tua meminta beli tanah lagi, renovasi dan beli perabot-perabot rumah padahal kondisi rumah dan perabot-perabotnya masih baik-baik saja, Anda bisa menolak secara halus. Tapi kalau Anda punya uang berlebih dan merasa sanggup memenuhi, silakan saja. 

Baca Juga: Seri Family Budgeting: Melepaskan Tekanan Financial Generasi Sandwich dengan Perencanaan Keuangan yang Baik

Begitu juga apabila Anda harus membantu membiayai sekolah adik-adik Anda. Bicarakan berapa kesanggupan Anda membiayai sekolah mereka. Apakah Anda akan membantu membiayainya sampai lulus S1? Hanya membantu sebatas membayarkan uang kost di tempat perantauan (jika adik bersekolah di luar kota)? Atau apakah Anda bisa membiayainya untuk lanjut S2? Bantulah sesuai dengan kemampuan Anda. 

2. Kerja sama dengan saudara

Jika Anda punya adik atau kakak yang sama-sama telah bekerja, Anda bisa meminta bantuan mereka untuk patungan membiayai kebutuhan orang tua. Jangan bebankan ini semua hanya kepada anak laki-laki atau anak sulung. Karena ia pasti juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan kewajiban merawat orang tua adalah tanggung jawab semua anak. Tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan. 

3. Manajemen keuangan yang baik

Aturlah pengeluaran bulanan serinci mungkin. Sisihkanlah terlebih dulu minimal 10% dari penghasilan untuk tabungan dan/atau investasi. Persiapkan juga dana darurat jika sewaktu-waktu terjadi pengeluaran mendadak, seperti sakit atau kematian. Besaran dana darurat yang harus dikumpulkan adalah 6 kali pengeluaran bulanan jika belum menikah dan 12 kali pengeluaran bulanan jika sudah menikah. 

Anda juga boleh mempertimbangkan untuk punya asuransi kesehatan, asuransi jiwa atau asuransi pendidikan untuk anak-anak. 

Yang lebih penting lagi dalam manajemen keuangan adalah mampu membedakan mana kebutuhan mana keinginan dan mendahulukan kebutuhan di atas keinginan. 

4. Mengenalkan literasi keuangan pada anak sejak dini

Salah satu sebab munculnya fenomena generasi sandwich adalah kurangnya literasi keuangan dari generasi-generasi sebelumnya sehingga tidak mempersiapkan dana pensiunnya dengan matang. Agar hal serupa tidak terulang pada generasi setelahnya, literasi keuangan perlu diajarkan pada anak-anak sesuai dengan jenjang usianya. 

Baca selengkapnya di : Mengajarkan Literasi Keuangan pada Anak Sesuai Jenjang Usia 

Jika anak sudah cukup umur untuk memahami, misalnya usia-usia anak SMA, ajaklah anak berdiskusi tentang keuangan dan kebutuhan keluarga. Mungkin ada orang tua yang menghindari hal ini karena ingin anaknya fokus saja pada sekolahnya tanpa harus dibebani dengan hal-hal seperti itu. 

Namun di sisi lain, hal ini setidaknya memberi gambaran tentang pengelolaan keuangan sehingga ketika di kemudian hari sang anak sudah punya penghasilan sendiri, ia akan belajar mengatur uangnya dengan baik. Selain itu, ia juga bisa belajar membuat keputusan keuangan untuk masa depannya kelak. 

Referensi : satu, dua, tiga, empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun