Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Ibu Aku Belajar Menjadi Perempuan Tangguh Berhati Lembut

22 November 2020   11:57 Diperbarui: 22 November 2020   12:01 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ibu dan anak-pexels.com

"Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya"

Ketika diminta untuk menuliskan pandangan terhadap sosok dan peran seorang ibu dalam hidup saya, saya benar-benar tidak tahu lagi bagaimana mengatakannya. Bukan karena tidak ada hal baik dari ibu yang bisa saya ingat, melainkan karena saking banyaknya kebaikan dan kasih sayang yang tercurah sehingga saya tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menarasikannya. Bahkan artikel yang saya tulis ini pun tidak akan cukup untuk menggambarkan betapa besar peran seorang ibu dalam mendidik saya hingga bisa menjadi seperti sekarang. 

Mama (panggilan saya kepada ibu), di mata saya adalah sosok wanita mandiri, cerdas, tangguh namun hangat dan penyayang. Beliau adalah orang pertama yang mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan pada saya. 

Mama adalah orang yang peduli pada pendidikan anak-anaknya. Pendidikan disini tidak hanya soal bagaimana kami bisa bersekolah tinggi dan memiliki gelar akademis agar dapat bekerja di perusahaan bergengsi. Bukan hanya tentang pendidikan formal atau beragam kursus berbiaya mahal untuk meningkatkan kemampuan. 

Apa yang beliau tanamkan lebih dari itu. Sejak kecil, sebelum kami mendapatkan pendidikan formal dan belajar ilmu lain, mama sudah menanamkan nilai-nilai agama dan moral kepada kami. Tentu saja disesuaikan dengan jenjang usia kami agar lebih mudah dipahami. 

Mama selalu mendorong dan mendukung anak-anaknya menjadi orang yang berilmu dan beradab. Kata beliau, ilmu yang kami dapatkan hendaknya bukan cuma untuk memperkaya diri, melainkan harus bisa memberi manfaat bagi orang lain. 

Beliau menanamkan empati dan semangat untuk berbagi. Prinsip yang beliau tekankan mengenai berbagi adalah bahwa apa yang kami terima juga ada hak orang lain sehingga kami harus memberikan hak tersebut kepada yang berhak menerimanya. 

Mama juga sering mengingatkan bahwa berbagi tidak akan membuat miskin. Justru dengan berbagi kita menjadi "lebih kaya", bukan hanya dari segi materi melainkan juga hal-hal non materi. Karena apa yang kita berikan suatu saat akan diganti dengan yang lebih baik. 

Hal inilah yang akhirnya menginspirasi saya untuk menulis. Bagi saya menulis adalah salah satu bentuk sedekah ilmu sehingga apa yang saya tulis haruslah bermanfaat dan memberi kebaikan pada pembacanya. 

Manfaat atau kebaikan itu dapat berupa banyak hal, seperti memberikan pengetahuan atau wawasan baru, menyadarkan orang lain untuk lebih peduli pada masalah-masalah sosial, memberikan motivasi atau dukungan emosional (emotional support) bahkan membuat orang tertawa dengan tulisan-tulisan yang menghibur. 

Sebagai anak perempuan, saya merasa beruntung memiliki ibu seperti mama. Ketika teman-teman perempuan seusia saya sudah banyak yang didesak untuk segera menikah, apalagi kalau sudah jadi bahan gunjingan tetangga, mama bersikap berbeda. Beliau menanggapinya dengan santai dan kepala dingin. 

Mama justru menasihati saya untuk jangan gegabah dan mudah terpengaruh hanya karena melihat teman-teman yang sudah berkeluarga atau mendengar nyinyiran orang lain. 

Mama, di usianya yang sudah 55 tahun, semangat hidupnya tidak kalah dengan mamah-mamah muda. Beliau masih produktif dan aktif di kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan di lingkungan tempat tinggal kami. 

Kadang saya berpikir mungkin ini sebabnya mama jadi terlihat awet muda dibandingkan ibu-ibu lain yang seusia beliau. Bahkan beberapa orang mengira mama saya masih 40-an tahun. 

Hal lain yang membuat saya merasa beruntung adalah mama selalu memotivasi anak-anaknya untuk berani bermimpi besar dan mewujudkannya. Tidak peduli apakah kami anak laki-laki atau perempuan. 

Baginya, setiap orang harusnya diberi kesempatan yang sama untuk belajar, mengembangkan diri dan memperjuangkan mimpi-mimpinya hingga titik darah penghabisan. Terlepas dari apapun jenis kelamin maupun gendernya. 

Terdengar sangat feminis ya? Mungkin saja. Tapi percayalah, mama bukan aktivis kesetaraan gender atau anggota organisasi pemberdayaan perempuan. Mama saya juga tidak paham apa itu feminisme dan bagaimana perkembangannya hingga hari ini. 

Namun secara tidak langsung mama telah mengenalkan pada saya perihal kesetaraan gender sejak dini. Jauh sebelum isu ini ramai diperbincangkan di ruang publik. 

Mama adalah perempuan yang tegas, berpendirian teguh dan tidak takut untuk menyampaikan pendapatnya akan suatu hal. Oleh karena itu, saya senang berdiskusi atau berbicara tentang banyak hal dengan beliau. Kadang kami melakukannya saat sedang makan atau di waktu-waktu luang. 

Terkait hal ini, beliau pernah menasihati saya bahwa perempuan juga harus berani speak up dan mampu mengambil keputusan, minimal untuk dirinya agar hidupnya tidak disetir orang lain. Karena hidup yang disetir orang lain akan membuat kita jadi ketergantungan. Padahal tempat bergantung hanyalah pada Tuhan. 

Penutup

Berbicara tentang sosok dan peran seorang ibu memang tidak ada habisnya. 500-1.500 kata pun rasanya tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan kasih sayang, pengorbanan, nasihat dan segala hal baik yang ia berikan untuk anak-anaknya. 

Ibu adalah madrasah atau sekolah pertama bagi setiap anak. Untuk dapat menjalankan tugas ini, seorang ibu atau calon ibu tidak boleh berhenti belajar. Karena ilmu itu seperti cahaya. Dan dengan belajarlah, cahaya itu tidak akan padam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun