Sebagai anak perempuan, saya merasa beruntung memiliki ibu seperti mama. Ketika teman-teman perempuan seusia saya sudah banyak yang didesak untuk segera menikah, apalagi kalau sudah jadi bahan gunjingan tetangga, mama bersikap berbeda. Beliau menanggapinya dengan santai dan kepala dingin.Â
Mama justru menasihati saya untuk jangan gegabah dan mudah terpengaruh hanya karena melihat teman-teman yang sudah berkeluarga atau mendengar nyinyiran orang lain.Â
Mama, di usianya yang sudah 55 tahun, semangat hidupnya tidak kalah dengan mamah-mamah muda. Beliau masih produktif dan aktif di kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan di lingkungan tempat tinggal kami.Â
Kadang saya berpikir mungkin ini sebabnya mama jadi terlihat awet muda dibandingkan ibu-ibu lain yang seusia beliau. Bahkan beberapa orang mengira mama saya masih 40-an tahun.Â
Hal lain yang membuat saya merasa beruntung adalah mama selalu memotivasi anak-anaknya untuk berani bermimpi besar dan mewujudkannya. Tidak peduli apakah kami anak laki-laki atau perempuan.Â
Baginya, setiap orang harusnya diberi kesempatan yang sama untuk belajar, mengembangkan diri dan memperjuangkan mimpi-mimpinya hingga titik darah penghabisan. Terlepas dari apapun jenis kelamin maupun gendernya.Â
Terdengar sangat feminis ya? Mungkin saja. Tapi percayalah, mama bukan aktivis kesetaraan gender atau anggota organisasi pemberdayaan perempuan. Mama saya juga tidak paham apa itu feminisme dan bagaimana perkembangannya hingga hari ini.Â
Namun secara tidak langsung mama telah mengenalkan pada saya perihal kesetaraan gender sejak dini. Jauh sebelum isu ini ramai diperbincangkan di ruang publik.Â
Mama adalah perempuan yang tegas, berpendirian teguh dan tidak takut untuk menyampaikan pendapatnya akan suatu hal. Oleh karena itu, saya senang berdiskusi atau berbicara tentang banyak hal dengan beliau. Kadang kami melakukannya saat sedang makan atau di waktu-waktu luang.Â
Terkait hal ini, beliau pernah menasihati saya bahwa perempuan juga harus berani speak up dan mampu mengambil keputusan, minimal untuk dirinya agar hidupnya tidak disetir orang lain. Karena hidup yang disetir orang lain akan membuat kita jadi ketergantungan. Padahal tempat bergantung hanyalah pada Tuhan.Â
Penutup