Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melawan Diskriminasi Usia

2 November 2020   16:33 Diperbarui: 2 November 2020   21:02 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi lansia sebagai salah satu korban ageisme-pixabay.com

Barangkali kawan-kawan generasi milenial sudah hafal tentang narasi-narasi yang digaungkan oleh partai-partai politik jelang pilpres 2019 lalu, di mana mereka saling berebut suara pemilih milenial. Mereka tampil sebagai pihak yang "seolah-olah" mewakili suara kaum milenial, lengkap dengan jargon-jargon heroik dan janji-janji manisnya. Namun yang terjadi adalah kursi kekuasaan masih dihuni oleh politisi-politisi tua senior yang terlalu nyaman dengan posisinya jadi masih bisa korupsi.

Oke, kita berhenti di sini. Karena saya tak hendak membahasnya dari sudut pandang politik. Itu hanya salah satu selingan ilustrasi. Mari lanjut ke ilustrasi lainnya. 

Pernahkah Anda memperhatikan iklan lowongan kerja? Entah lowongan untuk posisi apapun dan dari perusahaan atau institusi mana pun. Anda pasti sering menemukan persyaratan pelamar adalah yang berusia x tahun-y tahun. 

Seringkali usia yang dipatok maksimal 35 tahun. Malah ada yang 30 tahun bahkan ada yang lebih muda lagi. 

Sangat sulit menemukan iklan lowongan kerja yang menargetkan pelamar berusia 40 tahun ke atas. Kalau K-ner ada yang menemukannya, tolong bilang sama saya.

Bukan berarti saya mau daftar lho ya. Cuma kepo aja hehe. 

Apa Itu Age-isme? 

Dua ilustrasi di atas adalah contoh age-isme yang kerap kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, apa itu ageisme? 

Age-isme atau age-ism adalah prasangka atau diskriminasi terhadap individu semata-mata karena usianya. Intinya adalah diskriminasi usia.

Istilah ageisme pertama kali diperkenalkan oleh Robert Neil Butler pada tahun 1969 melalui tulisannya yang berjudul "Age-ism: Another form of bigotry" yang menggambarkan diskriminasi terhadap orang-orang lansia. 

Butler menyebut ada 3 elemen yang bertautan dengan age-isme. Pertama, prasangka terhadap orang-orang berusia tua dan proses penuaan. Kedua, praktik diskriminasi terhadap orang-orang berusia tua. Dan, ketiga, beragam praktik kelembagaan dan kebijakan yang melanggengkan stereotip terhadap orang-orang berusia tua. 

Walaupun pengamatan Butler menyasar pada orang-orang lansia, age-isme juga bisa dialami oleh anak-anak muda. Anak-anak muda yang menjadi korban age-isme sering distereotipkan sebagai pemalas, manja, suka membangkang, kurang ilmu, miskin pengalaman, terlalu emosional dan tidak punya kebijaksanaan. 

Akibatnya, mereka kerap dipandang sebelah mata. Pendapatnya sering tidak didengar, tidak dapat menduduki posisi atau jabatan tertentu karena dinilai terlalu muda, tidak diberi kesempatan atau kebebasan untuk membuat keputusan atas hidupnya dan lain-lain. 

Adapun age-isme yang menimpa orang-orang lansia, memandang mereka sebagai lemah, pikun, kolot, tidak berdaya, beban (baik itu beban keluarga maupun beban negara) dan tinggal menunggu ajal.

Inilah sebabnya para lansia sering dipersulit untuk mengakses hal-hal tertentu. Mulai dari penolakan aplikasi kredit, asuransi hingga menjadi anggota suatu komunitas. 

Akibat yang Ditimbulkan oleh Age-isme

Glorifikasi kaum muda seringkali membuat pekerja berusia 40 tahun keatas mentok dalam hal pengembangan karir. Mereka dianggap keras kepala, arogan, terlalu berpengalaman, malas belajar hal-hal baru dan sulit beradaptasi.

Saya tidak tahu apakah ada korelasi antara usia seseorang dengan kemauan untuk belajar hal-hal baru, termasuk belajar dari seseorang yang usianya lebih muda. Tapi stereotip itu ternyata cukup banyak diyakini di lingkungan kerja. 

Age-isme pada lansia ternyata juga dapat menyebabkan mereka mengalami perundungan, seperti kekerasan fisik, verbal sampai pengabaian akan kebutuhan medis dan kebutuhan fisik lainnya. 

Seorang anak yang mengintimidasi atau menyiksa orang tuanya karena tidak terima dengan hasil pembagian harta warisan, membentak dengan kata-kata kasar, mengisolasi mereka dari dunia luar atau komunitasnya, termasuk bagian dari perundungan terhadap orang-orang tua. 

Hal ini bisa mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Mereka akan merasa tidak berdaya, ketakutan, kesepian dan putus asa. 

Sementara age-isme pada anak muda dapat menyebabkan mereka kehilangan banyak kesempatan untuk mengembangkan minat dan potensi diri. Mereka akan merasa kecewa karena selalu diremehkan dan tidak dipercaya. Padahal mereka sudah cukup matang dan punya kemampuan. 

Melawan Age-isme

Age-isme telah mengabaikan hak-hak seseorang untuk dapat merealisasikan dirinya. Usia tidak seharusnya menjadi penghalang bagi seseorang untuk belajar, berkarya dan mengembangkan minat maupun potensinya dalam segala bidang. 

Usia hanyalah angka dan tanda siapa yang lebih dulu lahir serta hidup di muka bumi. Bukan tanda kecerdasan, kemampuan atau kebijaksanaan seseorang. 

Karena ada orang yang usianya sudah tua tapi kelakuan tidak ubahnya seperti anak TK. Sedangkan ada orang yang usianya masih sangat muda tapi pemikiran dan kebijaksanaannya jauh melampaui usia sesungguhnya. 

Baik muda atau tua, sama-sama berhak diberi kesempatan dan kebebasan. Orang-orang tua atau lansia berhak atas kesempatan dan kebebasan untuk menentukan perihal apa yang akan mereka lakukan di masa tuanya. 

Apakah mereka akan berbisnis setelah pensiun? Menjadi konsultan? Aktif dalam organisasi, komunitas atau kegiatan-kegiatan sosial? Itu terserah mereka. Selama mereka masih mau dan mampu, kenapa tidak didukung? 

Sementara anak muda butuh kesempatan dan kebebasan untuk menentukan masa depannya. Mereka bukan anti kritik, melainkan tidak suka jika didikte. Mereka tidak suka pada orang-orang tua yang bersikap seolah paling tahu apa yang terbaik bagi mereka.

Anak muda tetap butuh bimbingan dan teladan dari orang-orang tua. Namun mereka juga berhak punya pilihan. Mereka senang diberi kesempatan dan kebebasan, namun ajarkan juga tanggungjawab. 

Dikotomi antara "tua" dan "muda" tidak melulu soal angka. Tidak melulu soal fisik yang masih tegap atau yang sudah renta. Bisa juga mengenai semangat hidup dan kemauan belajar yang tidak pernah surut. 

Karena orang yang tidak pernah berhenti belajar adalah orang yang selalu memperbarui dirinya sehingga ia akan selalu muda. Sedangkan orang yang berhenti belajar, ia akan menua sebelum waktunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun