Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kesehatan Mental, Self-Diagnose dan Stigma Kurang Iman

10 Oktober 2020   14:20 Diperbarui: 11 Mei 2022   23:38 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kesehatan mental-thekimfoundation.org

Sekarang banyak orang terutama generasi muda yang mulai peduli pada kesehatan mental. Minimal anak-anak muda ini mulai terbuka dan banyak mencari informasi tentang kesehatan mental. Ada pula yang kerap menyatakan kepedulian dan dukungannya terhadap penderita penyakit mental , baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Namun, hal ini juga menimbulkan masalah baru, yaitu self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri. 

"Duh, kayaknya gue bipolar deh"
"Jangan-jangan selama ini gue mengidap gangguan kecemasan"

Self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri sebagai pengidap penyakit mental dilakukan hanya bermodal informasi dari internet yang tidak semuanya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berbekal informasi ala kadarnya dari situs-situs tertentu, mereka melabeli diri sebagai pengidap penyakit mental hanya berdasarkan hasil utak-atik gathuk alias dicocok-cocokan antara apa yang dialami dengan informasi tersebut. 

Misalnya, sering merasa cemas ketika harus berbicara di depan umum atau bertemu banyak orang, lantas melabeli diri mengidap gangguan kecemasan atau anxiety disorder. Perfeksionis, langsung melabeli diri menderita gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Baru putus cinta dan suka tiba-tiba baper sampai nangis setiap teringat kenangan bersama mantan, menganggap diri depresi. 

Padahal untuk mendapatkan hasil diagnosis yang tepat, seorang ahli harus melihat gejala-gejala lain yang tersembunyi. Karena beberapa penyakit bisa jadi memiliki gejala yang hampir mirip. 

Misalnya, kalau untuk sakit fisik, demam adalah gejala yang sering ditemui. Namun, demam yang tidak kunjung reda setelah 3 hari, misalnya, bisa jadi itu adalah tanda adanya penyakit tertentu. Entah itu demam berdarah, tifus, Covid-19 dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengetahui penyakit yang diderita, seseorang sebaiknya berkonsultasi kepada profesional (dokter/psikolog/psikiater) agar ia juga bisa mendapatkan penanganan medis yang tepat. 

Self-diagnose ini muncul karena banyak orang yang enggan atau malu untuk datang ke psikolog atau psikiater. Lalu, mengapa orang merasa enggan untuk datang ke psikolog atau psikiater? 

Pertama, biaya konsultasi ke psikolog atau psikiater terbilang mahal. 

Seorang pasien penderita gangguan mental harus mengeluarkan setidaknya Rp 300 ribu-Rp 500 ribu sekali konsultasi dengan waktu antara 30 menit-1 jam. Itu pun belum termasuk biaya beli obat yang harus dikonsumsi. Jika dikalkulasi dalam sebulan, rata-rata pengeluarannya bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 2 juta. Tergantung berat ringannya penyakit mental yang diderita pasien. 

Penderita gangguan mental sering kali butuh beberapa kali konsultasi agar psikolog atau psikiater mengetahui dengan jelas penyebab penyakitnya dan perkembangan kondisi pasien. Belum lagi kalau pasien mengalami ketidakcocokan dengan psikolog atau psikiater yang menangani pengobatannya. Mereka akan melakukan terapi tambahan ke psikolog atau psikiater lain. 

Kedua, kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan mental. 

infografis jumlah psikolog dan psikiater di Indonesia-tirto.id
infografis jumlah psikolog dan psikiater di Indonesia-tirto.id

Berdasarkan informasi yang dirilis oleh tirto.id, Indonesia hanya memiliki 600-800 psikiater dan 1.700 psikolog klinis. Dengan kata lain, perbandingan antara jumlah psikiater dan pasien mencapai 1 : 300.000-400.000. Artinya, 1 psikiater menangani sekitar 300.000-400.000 pasien. Persebaran psikiater dan psikolog ini pun masih terpusat di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. 

Ketersediaan rumah sakit jiwa di Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 260 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa. Lebih dari separuhnya terpusat di empat provinsi dari total 34 provinsi dan sebanyak 8 provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa, yaitu Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, NTT, Maluku Utara dan Papua Barat. 

Ketiga, adanya stigma atau cap "orang gila" yang disematkan pada penderita gangguan mental. 

Keterbatasan pengetahuan dan informasi mengenai penyakit mental sering menyebabkan orang dengan mudahnya melabeli seseorang "gila". Padahal penyakit mental itu ada banyak macamnya. Hal inilah pula yang menyebabkan orang yang jelas-jelas punya masalah kejiwaan merasa malu untuk datang ke psikolog atau psikiater karena akan dianggap "orang gila" oleh lingkungan. Padahal ada juga lho orang yang datang ke psikolog bukan karena lagi mengalami masalah, melainkan untuk konsultasi pengembangan diri. 

Agama dan Penyakit Mental

Stigma negatif lain yang sering dialamatkan pada penderita penyakit mental adalah kurangnya iman. Jadi, orang-orang yang mengidap penyakit mental sering dianggap jarang beribadah, tidak bersyukur dan jauh dari agama serta Tuhan. Stigma ini seolah-olah menyudutkan mereka bahwa mengidap penyakit mental berarti banyak dosa.

Sebenarnya telah banyak penelitian ilmiah yang mengkaji hubungan antara kesehatan mental dengan religiusitas (berlaku untuk semua agama). Kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa orang-orang yang tingkat religiusitasnya tinggi cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Religiusitas disini dinilai dari keterlibatan seseorang dalam praktik-praktik keberagamaan, seperti menjalankan ritual ibadah, seberapa penting peran agama dalam hidupnya dan motif yang mendorongnya untuk menjalankan ritual-ritual keagamaan. 

Namun, hal ini sering disalahpahami bahwa orang beriman tidak butuh bantuan tenaga kesehatan mental karena lebih baik mengadu pada Tuhan jika punya masalah. Mengadu atau curhat pada manusia menandakan orang tersebut tidak percaya akan pertolongan Tuhan. Benarkah demikian? 

Curhat ke Psikolog atau Psikiater vs Curhat ke Tuhan

ilustrasi konsultasi-photo by mentatdgt from pexels
ilustrasi konsultasi-photo by mentatdgt from pexels

Saya bukan ahli agama. Namun, daripada kita saling berdebat mana yang lebih baik antara meminta bantuan tenaga kesehatan mental atau cukup mengadu kepada Tuhan, mengapa tidak kita lakukan saja keduanya? 

Bagi saya, mengamalkan nilai-nilai agama adalah salah satu cara agar kita terhindar dari melakukan tindakan-tindakan negatif saat kita tertimpa masalah. Orang yang religius bukan berarti kebal depresi atau penyakit mental lainnya. Tapi, keimanan atau keyakinan mereka pada Tuhan setidaknya bisa menghindarkan mereka dari melarikan diri pada minuman beralkohol, narkoba, melukai diri sendiri (self harm) atau bahkan bunuh diri. 

Sedangkan konsultasi ke psikolog atau psikiater adalah bagian dari usaha atau ikhtiar untuk sembuh dari penyakit mental. Sama halnya kalau kita sakit fisik, kita tetap butuh periksa ke dokter, minum obat dan mengikuti anjuran-anjuran dokter. Dan itu sama sekali tidak salah. Bukankah dalam agama kita diajarkan untuk ikhtiar sebelum tawakal?

Lagipula orang terkena penyakit mental itu pasti ada faktor-faktor penyebabnya (ditinjau dari sisi medis) yang orang awam belum tentu memahaminya. Kalau pun ada orang di sekitar kita yang mengalami depresi dan kebetulan ia memang jauh dari Tuhan, mengapa tidak kita ajak saja dia untuk lebih dekat dengan Tuhan alih-alih menghakiminya? 

Kalau dia malu atau takut mendapat stigma negatif dari lingkungan karena datang ke psikolog atau psikiater, kita bisa menawarkan diri untuk menemaninya. Karena sebenarnya yang mereka butuhkan bukanlah penghakiman dari lingkungan, melainkan dukungan agar mereka bisa sembuh dari penyakitnya.

Referensi : 

satu, dua 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun