"Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
-Q.S. An-Nisa (4): 100-
Tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah selalu diperingati sebagai Tahun Baru Islam. Membicarakan tanggal 1 Muharram yang dimaknai sebagai awal pergantian tahun Hijriah, tentu tidak lepas dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah.Â
Para ulama mengelompokkan hijrah ke dalam dua jenis, yaitu hijrah secara fisik dan hijrah secara nonfisik. Hijrah secara fisik dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu hijrah Islam, hijrah dari wilayah kafir dan hijrah dari wilayah maksiat.Â
Sedangkan hijrah nonfisik adalah hijrah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hijrah kepada Allah dapat dimaknai sebagai penghambaan total kepada Allah sehingga meyakini bahwa Allah adalah sebaik-baik tempat bergantung. Adapun hijrah kepada Rasulullah adalah dengan menjadikan perilaku, ucapan dan perbuatan beliau sebagai panutan dan tuntunan dalam menjalani kehidupan.Â
Hijrah pun kini menjadi fenomena tersendiri yang cukup nge-trend dikalangan anak muda. Hal ini ditandai dengan banyaknya akun-akun hijrah yang bertebaran di sosial media dan mereka juga aktif mengadakan agenda-agenda kajian baik secara online maupun offline.Â
Namun yang sedikit disayangkan dari fenomena ini adalah hijrah masih dimaknai sebatas mengubah tampilan fisik, seperti yang sebelumnya suka pakai celana jeans jadi lebih suka pakai gamis, yang sebelumnya suka pakai jilbab modis berubah jadi pakai jilbab lebar dan panjang, mengubah penyebutan 'aku, saya, gue' menjadi 'ana' dan 'kamu, loe' menjadi 'antum' serta obsesi-obsesi lainnya akan sesuatu yang kearab-araban agar terlihat lebih Islami.Â
Saya bukannya tidak suka atau menganggap itu sebagai hal buruk. Namun saya menyayangkan jika makna hijrah direduksi menjadi sebatas hal-hal yang bersifat fisik. Hijrah harusnya dimaknai sebagai momentum perubahan, baik dari segi pola pikir, kebiasaan, sikap, ucapan dan lain-lain dalam rangka menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang lebih mampu mengendalikan hawa nafsunya.Â
Menjaga hati untuk tidak mudah berprasangka buruk, menjaga lisan untuk tidak banyak bergunjing (ghibah), membiasakan diri untuk lebih rajin membaca dan menulis sesuatu yang bermanfaat, membangun kebiasaan sholat tahajud di sepertiga malam walaupun gravitasi kasur terlalu kuat untuk dilawan, itu juga termasuk hijrah. Tidak perlu melakukan sesuatu yang muluk-muluk. Cukup dimulai dari hal yang paling sederhana, yang ingin diubah dan dari diri sendiri terlebih dulu.
Setiap orang punya perspektif masing-masing mengenai hijrah. Namun intinya tetap sama, yaitu meninggalkan sesuatu yang buruk kepada sesuatu yang lebih baik. Bagi saya, ada satu hal yang benar-benar ingin saya tinggalkan dan ini terbilang sulit dikalahkan. Ya, rasa malas dan kebiasaan menunda-menunda atau PROCRASTINATIONÂ (sengaja saya tulis dengan huruf kapital semua).Â
Sebenarnya semua orang juga bisa dan pernah dihinggapi rasa malas atau perasaan tidak ingin melakukan apapun selain bersantai dan rebahan. Bahkan bisa menyerang orang yang sangat rajin sekali pun. Bisa dibilang ini seperti penyakit kambuhan. Namun, bagi pengidap penyakit malas stadium lanjutan seperti saya, proses penyembuhan dari penyakit ini memang agak susah.Â
Saya tertarik dengan salah satu artikel yang pernah ditayangkan di situs mojok.co (artikel bisa dibaca di sini) tentang bagaimana cara si penulis mengalahkan rasa malasnya. Ternyata cara yang ia lakukan cukup sederhana namun berdampak signifikan pada dirinya. Ia menerapkan suatu teknik yang bernama "5 Second Rule", suatu teknik yang diperkenalkan oleh Mel Robbins, seorang penulis dan motivational speaker.Â
Teknik "5 Second Rule" ini sebenarnya merupakan teknik yang sangat sederhana. Anda hanya perlu menghitung mundur 5,4,3,2,1 lalu bangkit, berdiri, bergerak, apapun itu pokoknya lakukan sesuatu yang produktif. Jangan menunda, terlalu banyak berpikir atau sekadar berkata "sebentar", "nanti" dan berbagai alasan penundaan lainnya.Â
Misalnya, saya dulu termasuk malas membersihkan muka setelah seharian beraktivitas di luar rumah. Padahal kulit muka saya termasuk kulit berminyak sehingga waktu itu muka saya jadi mudah berjerawat. Terdorong oleh rasa minder, akhirnya saya coba berubah. Begitu sampai rumah, segera bersihkan muka. Kalau perlu mandi sekalian. Dan sekarang hal itu sudah menjadi kebiasaan.Â
Kemudian saya coba lakukan hal serupa dalam hal lain, menulis, misalnya. Saya memang belum tentu menulis setiap hari. Namun, yang coba saya lakukan adalah apabila memperoleh ide menulis, walaupun hanya sekadar satu kalimat atau satu kata sekali pun, segera saya tulis agar tidak lupa. Tidak perlu berpikir terlalu lama. Tidak perlu ditunda-tunda. Sayang sekali kalau ide yang terbilang potensial untuk dijadikan bahan tulisan dibiarkan hilang begitu saja.Â
Sebenarnya banyak kemalasan atau prokrastinasi yang masih harus saya perbaiki dengan tingkatan yang lebih sulit lagi, seperti membiasakan diri sholat di awal waktu dan fokus menyelesaikan satu pekerjaan terlebih dulu tanpa membiarkan diri terdistraksi dengan bolak-balik mengecek Hp. Jujur saja, dua hal ini merupakan yang tersulit bagi saya.Â
Tidak ada yang instan di dunia ini, termasuk melawan rasa malas dan kebiasaan menunda-nunda melakukan sesuatu. Akhirnya niat dan konsistensi lah yang menjadi kunci untuk membentuk suatu kebiasaan baru yang lebih baik. Lalu, apakah makna hijrah menurut Kompasianer sekalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H