Mohon tunggu...
lunakayla
lunakayla Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kenaikan Tarif Pajak Penambahan Nilai dalam Islam

22 Desember 2024   19:20 Diperbarui: 22 Desember 2024   19:15 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Praktik pembayaran pajak telah menjadi kewajiban negara sejak zaman Khulafaurrasyidin. Tidak hanya diterapkan untuk masyarakat Muslim, tetapi juga berlaku untuk masyarakat negara non-Muslim. Warga negara non-Muslim berkewajiban menyisihkan sebagian dari kekayaan mereka untuk negara yang disebut jizyah, yang bertujuan untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, serta kesejahteraan di negara Islam pada masa tersebut.

Pajak merupakan kontribusi masyarakat kepada negara atau pemerintah, terkait erat dengan kepemilikan, hasil peroleh harga beli barang, dan faktor-faktor ekonomi lainnya. Namun permasalahan pajak khususnya di Indonesia semakin meningkat dikarenakan kurangnya kesadaran pengetahuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih menurun ikut mempengaruhinya serta kurangnya optimalisasi kepada masyarakat. Tulisan ini akan menelisik lebih dalam tentang pajak dalam perspektif islam dan juga tentang PPN yang menjadi kontraversi dikalangan masyarakat.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa. PPN merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting, pajak ini dikelola berdasarkan Undang-Undang No.42 Tahun 2009 di Indonesia.

PPN adalah pungutan yang dikenakan atas penyerahan barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Pajak ini dibebankan kepada konsumen akhir, tetapi kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN ada pada Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu pengusaha atau badan usaha yang telah terdaftar sebagai wajib pajak. Ini berarti bahwa meskipun konsumen akhir yang membayar PPN, pengusaha bertanggung jawab untuk mengelola administrasi tersebut.

Tarif dasar PPN di Indonesia adalah 10%, namun dapat bervariasi. Sejak 1 April 2022, tarif PPN meningkat menjadi 11% dan direncanakan akan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 merupakan langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung konsolidasi fiskal. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP), yang sebelumnya menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022.

Kenaikan tarif PPN ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaaan negara, yang sangat penting untuk membiayai berbagai program pemerintah dan mengurangi defisit anggaran. Dengan meningkatkan pendapatan dari PPN, pemerintah barharap dapat ketergantungan pada utang luar negeri untuk menutupi difisit anggaran.

Kenaikan tarif PPN ini diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat, terutama bagi kelas menengah ke bawah. Meskipun beberapa barang kebutuhan pokok akan tetap dikecualikan dari PPN atau dikenakan tarif yang lebih rendah, barang-barang premium seperti beras dan minyak goreng premium akan dikenakan pajak ini.

Kenaikan tarif PPN dapat memicu inflasi, terutama pada barang-barang konsumsi harian seperti pakaian dan obat-obatan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi banyak keluarga. Keluarga miskin diprediksi akan mengalami peningkatan pengeluaran bulanan yang dapat mencapai Rp100.000+- per bulan akibat kenaiakn PPN ini.

Pajak Pertambahan NIlai (PPN) dalam Islam merupakan topik yang kompleks dan sering menjadi perdebatan di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim. Pajak dalam Islam lebih identik tentang pemberian upah sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Ahkam Al-Suthaniyah Al-Mawardi yang mengandung arti kontrak, sewa-menyewa atau menyerahkan yang dimaksudkan ialah pembayaran pajak atas tanah atau hasil tanah. Sebagaimana Firman Allah SWT yang berbunyi:

Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memincingkan mata (enggan) terhadapnya, Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. (Al-Baqarah:267)

Sejarah mencatat bahwa masa Khalifah Umar bin Khattab, pemerintah Islam memungut pajak (usyr) untuk kepentingan masyarkat. Dikeluarkan tentang Usyr atau Pajak bea cukai guna menghidupi krisis makanan pada tahun 18 H. Pada tahun ini umat muslim mengalami krisis ekonomi sehingga banyak orang yang mengalami kelaparan yang berat. Pada masa itu juga mengalami kekeringan yang sangat panjang. Hal ini diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab membuat iuran perpajakan untuk seseorang yang mempunyai banyak harta dan disimpan di Baitul Mal. Situasi tersebut yang diperbolehkan para ulama untuk pembayaran pajak terhadap kepemerintahan. Pada dasarnya kita dituntut untuk mentaati pemerintah. Sebagaimana Firman Allah SWT yang berbunyi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun