Pesawat - pesawat Hurricane mencoba mengudara. Susul - menyusul mereka meninggalkan landasan.
    Bisa ditebak, pekerjaan itu tidak berlangsung mulus. Pesawat - pesawat Jerman yang berseliweran di langit menembaki mereka dengan gencar. Sebuah Hurricane mendadak terguling karena rodanya tertembak. Sebuah lagi sempat menanjak namun seketika terjun dan terbakar. Pemandangan itu membuat jeri pilot - pilot Hurricane yang lain.
    Hujan deras turun. Membasahi rongsokan pesawat - pesawat Hurricane yang masih berasap.Â
    Stella menatap dengan wajah pucat. Sementara para pilot Inggris yang tersisa masih berjuang untuk mengudara.
    "Turunkan aku, turunkan aku!" Stella berontak di dalam kokpit. "Aku takut ketinggian!"
    Lancelot yang satu pesawat dengannya jadi kerepotan. Pemuda itu sedang fokus untuk tinggal landas. Hujan merubah tanah lapangan menjadi lumpur. Lancelot makin kesulitan. Hanya pilot edan yang bisa tinggal landas dari lapangan seperti ini. Apalagi Stella bergerak ke sana - sini membuat pesawat oleng.
    Namun Lancelot sudah mengambil keputusan. Ditariknya tongkat kemudi dengan kuat.
    Sekejap roda pesawat Lancelot tidak lagi menjejak tanah. Pesawat itu berhasil terbang. Stella menyaksikan tanah di bawah makin menjauh dan menjauh. Sudah terlambat baginya untuk minta diturunkan.Â
    Tidak hanya Lancelot, sejumlah rekan lainnya pun berhasil terbang. Total ada lima Hurricane yang mengangkasa di tengah hujan deras itu. Masing - masing lalu membuat manuver untuk membidik musuh.
    Stella meringkuk di bawah kokpit. Keadaan di situ gelap karena cuaca hujan. Mendadak gadis kelahiran Manchester itu merasakan Hurricane Lancelot miring, semiring - miringnya. Sebenarnya Lancelot tengah bermanuver. Namun hal itu amat menakutkan bagi orang awam seperti Stella. Maka dengan segera dipeluknya kaki Lancelot.
    Lancelot pun gagal menginjak pedal rudder. Kedua kakinya terkunci oleh Stella. Saat itulah pesawat Jerman datang mendekat. Lancelot tak bisa mengelak ketika pesawat itu tiba - tiba memuntahkan tembakan.Â
    Stella dan Lancelot menjerit bersamaan. Peluru berdesingan mengoyak kokpit sempit mereka. Pesawat Lancelot terpuntir ke bawah.Â
    Stella mendengar mesin pesawat itu meraung keras sekali.
     ***
    Desiran angin bergemeretak, menyibak kaca - kaca jendela yang pecah.
    Stella mencoba menggerakkan tubuh. Perlahan matanya mulai terbuka. Sepertinya ia baru saja pingsan. Hawa dingin terasa menusuk. Seperti tersembur kipas raksasa dari segala arah yang meniupkan uap es. Dimana ini?
    "Kau kedinginan?" Lancelot menoleh. Ia mendekap Stella supaya gadis itu tidak kedinginan. "Kanopi kita pecah. Masker oksigen juga rusak. Kuatkan dirimu."
    "Turunkan ketinggian pesawat. Dinginnya luar biasa ...." Stella menggigil.
    "Tak bisa. Di bawah banyak pesawat Jerman. Mereka sedang mencari kita. Kurasa disini lebih aman." Lancelot berkata.Â
    Stella terdiam. Kepalanya masih berat. Ditatapnya sekeliling. Yang terlihat hanyalah warna ungu gelap, ungu gelap, dan ungu gelap. Rupanya mereka sedang menyelinap di gugusan awan mendung demi mengelabui Jerman.
    Pemandangan disini begitu aneh. Seakan ada di dunia lain. Stella ketakutan. Sepertinya penerbangan ini berbahaya. Bukankah awan mendung bisa menghasilkan petir?
    "Sesak tuan, rasanya tak bisa bernapas ..." suara Stella tercekat. "Apa kita bisa bertahan?"
    Lancelot menenangkannya. "Cobalah bernapas pelan - pelan. Jangan cemas." Â
    Wajah Lancelot sendiri juga pucat. Tapi pertimbangan di benaknya cukup logis. Lancelot harus bertempur menghadapi banyak pesawat musuh bila nekat ke bawah. Padahal ada Stella bersamanya. Bila pesawatnya tertembak tentu gadis itu ikut jadi korban.
    Lancelot paham lawannya kali ini adalah pesawat - pesawat pemburu. Bukan pembom. Pesawat pemburu jauh lebih berbahaya. Mereka didesain untuk bertempur.
    Lancelot tadi berhasil menguasai pesawatnya setelah ditembak musuh. Ia lalu kabur dari pertempuran di markas 614. Lancelot melakukannya demi menyelamatkan Stella. Sebagai getahnya ia harus menanggu malu. Rekan - rekannya di skuadron tentu menuduhnya pengecut, kabur begitu saja. Mereka tak tahu ada orang sipil, yaitu Stella, terancam bahaya karena terlibat dalam pertempuran.
    Lancelot sendiri enggan berterus - terang. Ia khawatir Stella akan didamprat sang komandan.
    Kini tinggal menunggu situasi aman. Biarkan kelompok armada Jerman di bawah menyingkir dulu.Â
***
    Namun mendadak muncul situasi darurat.
    Yang namanya apes memang tak bisa dielakkan. Di tengah gumpalan awan pekat pesawat Lancelot terbatuk - batuk. Baling - baling di depan kokpit pesawat melambat, dan dengan segera berhenti sama - sekali.
    Hidung pesawat tak bisa mempertahankan ketinggiannya. Seketika pesawat itu menukik tajam. Jatuh bebas. Rasanya begitu mengerikan.Â
    "Saluran bahan bakar!" Ditengah kepanikan Lancelot berseru. "Sialan, bensin sialan!" Lancelot mengumpat - umpat.
    Stella sungguh tak paham apa yang terjadi. Dan tahu - tahu Lancelot mendorongnya.
    "Pegang kemudi, nona. Jaga supaya stabil!"
    Tanpa menjelaskan bagaimana cara melakukannya, Lancelot bergeser ke bawah. Ia tidak mempedulikan Stella lagi. Lancelot bergegas membuka saluran bahan bakar. Ternyata benar dugaannya. Ada kotoran menyumbat disitu. Kotoran yang berasal dari bensin. Lancelot ingat peristiwa yang sama pernah menimpa rekannya.
    "Cepat tuan, permukaan tanah sudah dekat!" Stella terguncang - guncang dalam kokpit.Â
    Keringat dingin menetes di dahi Lancelot. Kotorannya cukup sulit dibersihkan. Lancelot berlomba dengan waktu sebelum mencium tanah. Hembusan angin terasa demikian keras. Bunyi gesekan dengan besi pesawat memekakkan kuping. Situasinya begitu sulit.
    "Cepat tuan!!"
    "Ok, selesai!!"Â
    Lancelot seketika merebut kemudi dari Stella. Namun pemandangan yang menyambut sungguh mengejutkan.
    Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau.Â
    Mereka terlanjur terjeblos di tengah - tengah armada Jerman.
***
    Lancelot segera mengambil tindakan brutal.
    Pesawatnya tiba - tiba menanjak nyaris vertikal. Sentakan ke atas itu membuat Stella seolah kehilangan tempat berpijak. Tekanan darahnya anjlok. Tapi Lancelot tak ambil pusing. Hurricane yang dikemudikannya lalu dibuat stall mendadak. Pesawat itu terpelanting ke bawah dengan deras tanpa kendali.
    Lancelot baru saja melakukan manuver akrobatik. Manuver sambutan terhadap rombongan pesawat Jerman yang datang menyerang.
    Semua senapan mesin di pesawat Lancelot menyalak. Sambil melakukan loop panjang menyamping, Lancelot menembaki pesawat Jerman itu satu - persatu.
    Tak menduga diserang dengan gaya akrobatik aneh, pesawat musuh pun berjatuhan.
    Sebuah Messerschmitt 109 tertembak tepat di mesinnya. Pesawat itu menukik ke bawah dengan tubuh berasap. Satu Messerschmitt lagi tertembak hingga macet baling - balingnya. Pesawat ini pun jatuh.
    Seakan tak cukup, satu pesawat lagi menyusul terjun. Sayapnya terbakar - menjadi korban tembakan Lancelot. Pesawat itu jatuh berputar menghantam rekan dibawahnya. Keduanya saling terkait dalam lalapan api, terlempar ke bawah tanpa ampun.Â
    Parasut - parasut pilot Jerman segera terkembang. Pertempuran terus berlanjut. Hujan deras mengguyur.
    Stella tak tahu lagi apa yang terjadi. Perutnya terasa mual. Sudah tak terhitung berapa kali tubuhnya terhempas saat pesawat Lancelot bermanuver. Stella seolah terjebak dalam botol martini yang dikocok orang sinting. Beginikah aksi Si Penembak Cepat? Membuat perut eneg.
    Dogfight selanjutnya berlangsung lebih sengit. Pesawat - pesawat yang dihadapi Lancelot adalah tipe pemburu. Mereka melakukan perlawanan hebat.
    Tapi pertempuran berlangsung dengan cepat.
    Tak lebih 10 menit semua pun berakhir. Lancelot tampak meninggalkan gelanggang pertempuran. Pesawat Hurricane-nya babak - belur. 200 lubang peluru menganga disana - sini.
    Sementara pantai di bawah penuh dengan puing - puing pesawat. Tempat itu sudah berubah menjadi kuburan pesawat Messerschmitt. Jejak nyata kemenangan Lancelot. Seekor burung merpati tiba - tiba mendarat.
    Menatap bekas pertempuran dengan mata sayu.
***
    Stella mengigau di atas pembaringan.
    Setelah dogfight hari itu berakhir, Stella tidak masuk kerja. Seluruh badannya terasa lemas, demam. Gadis itu terpaksa hanya berbaring seharian di tempat tidur. Syok berat setelah terbang bersama Lancelot.
    Sebagai pilot, Lancelot sama sekali tidak cool. Terbangnya sangat ngawur. Stella heran bagaimana pemerintah Inggris yang terhormat bisa meminta pria seperti itu menjaga London.
    Rasa pening di kepala Stella tidak kunjung hilang. Seandainya manusia bisa hidup tanpa kepala, Stella tak keberatan melepas kepalanya sekarang juga.
    "Kenapa denganmu?" Gwen, editornya di Daily Herald, datang berkunjung.
    "Tidak apa - apa ... hanya tak enak badan." Stella tak mau menceritakan pengalamannya. Ia tak mau jati diri Lancelot sebagai Penembak Cepat terkuak.
    Gwen menatap Stella dengan tajam, "jangan berbohong padaku. Pagi hari sudah muntah - muntah. Dengan siapa kau melakukannya? Pria yang kauwawancarai itu?"
    Gwen tidak pernah menyukai kedekatan Stella dengan Lancelot.
    "Aku tidak hamil. Dasar editor berita gosip. Firasatmu terlalu jauh!" Stella marah - marah.
    Meski demikian, jadi juga Stella menyerahkan berita yang disusunnya pada Gwen. Lengkap dengan foto - foto yang sempat dijepret ala kadarnya. Apalagi kalau bukan tentang aksi Si Penembak Cepat yang terbaru.
    Stella menyempatkan diri menulis di tengah sakitnya. Ia mengaku memperoleh berita itu saat berdiri di tebing pantai. Apa boleh buat. Demi melindungi privasi Lancelot.
    "Cepat dimuat. Ini big news." Stella berkicau pendek.
    Mata Gwen berbinar. Ia menyambut naskah itu tanpa bertanya lagi.
Bersambung
(Kisah ini ditayangkan tiap senin - rabu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H