Mohon tunggu...
Ida Lumangge S
Ida Lumangge S Mohon Tunggu... Buruh - IRT

Pemain!, Karena tak seorangpun dalam hidup ini yang jadi penonton.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(FITO) Kertas Bekas untuk Nek Darmi

24 Agustus 2016   06:17 Diperbarui: 24 Agustus 2016   07:42 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kujentikkan sisa rokok dan apinya yang masih menyala ke tong sampah kering di depan rumah. Sembari menyetir mobil keluar, terlihat api kecil mulai melahap kertas – kertas bekas sisa dari usaha percetakan yang aku kelola di rumah. Seorang wanita tua, bertubuh ringkih setengah berlari menuju ke arah tong sampah itu. Namun, lahapan api telah mendahului langkahnya yang sudah tidak cekatan. Aku berlalu tanpa mempedulikan rona wajahnya yang menahan sedih karena tidak mendapatkan apa – apa.

Aku memang tidak suka tong sampah di depan rumah di korek – korek oleh siapapun. Karena bagiku mereka hanya membuat semuanya jadi berantakan. Maka sebelum sampah- sampah kering itu di jamah oleh mereka, aku langsung membakarnya sehingga hanya menyisakan abu.

%%%%%

“ Ma, ada air mineral tidak?, aku haus nih!” Bimo anakku merengek minta air minum

“ Tuh, di kantong jok belakang ada beberapa botol air mineral Mama sediain” sahutku sembari konsentrasi pada setirku

“ Makasih Mama! “ Bimo membuka kaca mobil dan melemparkan sisa air mineralnya keluar

“ Bimo!!! Jangan buang sampah sembarangan Nak”. teriakku

Bimo nyengir

Tiba – tiba terlihat dari spion mobilku seorang wanita tua mendekat dan berusaha menangkap botol mineral lemparan Bimo. Aku seperti pernah melihatnya, tapi dimana ya?. Ohh, saya ingat sekarang, wanita yang kemaren hendak mengais rejeki dari sisa kertas percetakanku.

“ Kasihan sekali wanita tua itu” gumamku. “Kemana ya anak – anaknya?, Mengapa tidak ada yang peduli?, Dimana hadirnya negara pada orang – orang terlantar seperti mereka?” sejuta pertanyaan berseliweran di otakku.

Lampu merah berganti hijau, aku melaju.

“ Seorang wanita tua tertabrak sepeda motor di perempatan jalan saat hendak memungut botol air mineral yang dilempar dari mobil seorang pengendara” suara pembawa berita di TV mengagetkanku.

Aku mengalihkan pandanganku pada layar TV

“ Wanita itu lagi” gumamku

“ Memangnya kenal?” tanya suamiku

“ Aku melihatnya kemaren, saat berhenti di lampu merah, dan…ahh…botol air mineral itu kan yang dilempar Bimo dari mobil kita. Ya Tuhan!, ini semua ada hubungannya dengan kita Pa” aku terduduk lemas dan merasa bersalah.

“ Ya sudah, kita cari dimana wanita itu dirawat” suamiku memberi solusi

Berbekal sepotong informasi dari berita itu, Aku dan Mas Bayu suamiku mencari rumah sakit tempat wanita tua itu dirawat.

“ Ruang Melati, lantai dua, nomor 102” perawat di ruang depan memberi kami arahan

Kami bergegas menuju kamar yang dimaksud. Terlihat wanita itu masih terbaring lemah dengan selang infus di pergelangan tangannya. Aku mendekat dan menyentuhnya dengan perlahan.

“ Maaf Nak! saya telah berbuat salah apa, hingga datang kesini?”

“ Ibu tidak salah apa –apa” sahutku menenangkan. “ Aku adalah wanita yang membuang botol air mineral di perempatan itu, sehingga ibu mengalami kecelakaan ini “

“ Ah, akulah yang ceroboh Nak”

“ Bu, sebaiknya makan dulu ya,” ajakku sembari membuka bubur ayam yang kubawa dari rumah

Wanita itu menganguk lemah

%%%%%

Seminggu sudah aku rutin mengunjungi Nek Darmi di rumah sakit. Sampai sejauh ini aku belum berani bertanya banyak mengenai asal – usulnya. Bahkan namanya saja saya tahu dari perawat yang menjaganya.

Hari ini, aku harus memberanikan diri untuk bertanya. Lagipula, dia sudah di ijinkan keluar dari rumah sakit, maka setidaknya ada alasan bagiku untuk menanyakan diantar kemana.

“ Nek, hari ini sudah di ijinkan pulang, sembari pulang saya antar kemana?” tanyaku

“ Saya tinggal bersama kawanan pemulung dibawah tol menuju tangerang itu, Nak!”

“ Lalu, keluarga dan anak – anak Nenek kemana?” tanyaku penasaran

“ Mereka meninggal terkena malaria” jawabnya sedih

“ Kalau begitu, bagaimana kalau Nenek tinggal dirumahku saja?”

“ Aku ada banyak anak – anak pemulung yang harus di perhatikan di kawasan kumuh itu Nak”

Aku kagum! ternyata dibalik ringkih dan malangnya nasib Nek Darmi, dia masih peduli akan nasib sesamanya. Lalu aku, apa yang telah kulakukan?. Bahkan dengan Nek Darmi sendiri aku telah bersikap kejam. Teringat ketika aku membakar kertas – kertas bekas di tong sampah depan rumahku kala itu.

“ Kok malah bengong Nak” senggol Nek Darmi

“ Oh,,iya,,iya Nek”

Tiba – tiba sebuah ide muncul di benakku “ Sebuah rumah milikku dipinggiran Jakarta yang bulan depan akan habis masa sewanya. Aku akan mendirikan rumah kreatif dari kertas kertas bekas itu bersama Nek Darmi dan anak – anak pemulung yang lain.                                                   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun