Tingkat partisipasi masyarakat pada Pemilihan Umum (Pemilu) di era reformasi cenderung menurun. Penurunan partisipasi masyarakat mengikuti Pemilu terlihat dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada tahun 1999 sebesar 92,7 persen, tahun 2004 sebesar 84,07 persen, tahun 2009 sebesar 71 persen.
Hasil survei Lembaga Survei Proximity menyebutkan partisipasi pemilih dalam ajang Pilgub Jawa Timur 2013 mengalami kenaikan. Hasil sementara survei di 322 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari 400 TPS sample, menunjukkan tingkat partisipasi pemilih sebesar 63,38 persen. Ini naik ketimbang tingkat partisipasi pemilih Pilgub sebelumnya pada 2008 sebesar 58 persen. Naiknya tingkat partisipasi pemilih ini mereduksi angka golput. Meski begitu, partisipasi pemilih tidak akan lebih dari 60 persen. (Tempo.com 30/8/13).
Partisipasi Rendah
Rendahnya pastisipasi masyarakat dalam Pemilu terjadi karena berbagai faktor, antara lain: kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilihan umum dan partai politik. Juga karena Pemilu dirasa tidak menghasilkan pemimpin yang memberikan perubahan yang nyata.
Di lapangan, berdasarkan pemantauan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur, partisipasi masyarakat mencoblos di TPS memang beragam. Angkanya berada di kisaran 50 persen. Ada juga beberapa TPS yang bisa mencapai 80 persen. Menurunnya tingkat partisipasi merupakan fenomena akumulatif sejak Pemilu 1999. Tapi semakin ke belakang, angka itu terus turun.
Penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh KPU yang dinilai amburadul, diprediksi akan berdampak terhadap rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Hal ini diperburuk dengan sistem politik transaksional yang diwarnai kecurangan. Berkenaan dengan calon legislatif, selama ini kurang ada keberanian calon legislatif melakukan kontrak politik. Hal ini mengindikasikan mereka hanya menjadikan masyarakat sebagai komoditas politik semata.
Tanggung Jawab dan Partisipasi
Lepas dari aneka lemahnya dinamika politik di Indonesia, pada 16 September lalu, dalam homili di Domus Santa Martha, Paus Fransiskus menegaskan bahwa umat tidak boleh acuh tak acuh terhadap politik, tetapi harus memberikannasehatserta doa-doa mereka agar para pemimpin mereka dapat memberikan yang terbaik dengan rendah hati dan cinta. Paus menolak gagasan bahwa orang Katolik yang baik tidak ikut campur dalam politik. Ia mengatakan bahwa “Itu tidak benar. Itu bukan jalan yang baik,” tegas Bapa Suci, seperti dilaporkan Radio Vatikan.
Menurut Paus Fransiskus, seorang yang baik hendaknya terlibat dalam bidang politik, dengan memberikan yang terbaik dari dirinya sendiri. Tak satu pun dari umat mengatakan, saya tidak ada hubungannya dengan politik. Sebaliknya, ia menekankan umat harus ikut bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam politik sesuai dengan kemampuan mereka. Karena, berpolitik, sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja, merupakan salah satu bentuk tertinggi dari karya amal, karena melayani kepentingan umum. Bapa Suci mencontohkan bahwa kadang-kadang orang mengkritik pemimpin mereka, mengeluh tentang hal-hal yang tidak berjalan dengan baik. “Janganhanya mengeluh, kita harus memberikan diri kita sendiri, ide-ide kita, saran kita, dan doa-doa kita,” kata Bapa Suci.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam Sapaan Pastoral menjelang Pemilu tahun 2004 lalu mengatakan bahwa Pemilu bukan satu-satunya ukuran dalam berdemokrasi, "tetapi dengan melibatkan diri di dalamnya, kita dapat melakukan pendidikan politik, dengan harapan bahwa kita menjadi sadar bahwa kita tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kita sebagai warga masyarakat dan warga negara." Para Uskup menghimbau agar umat memilih calon pemimpin yang mengamalkan nilai-nilai luhur agamanya dan menghargai orang-orang di luar agamanya sendiri. Para Uskup mengajak umat untuk melanjutkan pembicaraan reflektif, seraya mengatakan bahwa pilihan mereka sangat menentukan bagi proses perjalanan bangsa ini.
Animasi dan Sosialisasi
Dalam kegiatan Animasi Politik dan Sosialisasi Pemilu, masih sebagian kecil saja yang menindaklanjuti dengan kegiatan: Animasi politik, strategi memilih dan memperkenalkan calon legislatif (caleg). Dalam sesi diskusi, tampak bahwa sebagian peserta kurang peduli politik, bahkan ada anggapan, ikut mencoblos tidak memberi dampak apapun. Akibatnya banyak peserta memilih golput, terlebih karena tidak ada ajakan dan tidak tahu siapa yang sebaiknya dipilih. Namun ada pula ungkapan optimis. Melalui animasi dan sosialisasi, umat yang semula apolitis mengatakan akan memberikan partisipasi politik, dengan mencoblos pada hari H, Pemilu.
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam kegiatan itu ialah minimnya kehadiran. Namun demikian, ada beberapa yang bersemangat membangkitkan kesadaran politik, bahkan memberikan dukungan penuh kepada para caleg.
Data mencatat ada banyak caleg di tingkat DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten / Kota. Pencalonan mereka merupakan indikasi keterlibatan dalam politik yang baik. Memang, kehadiran mereka dapat membingungkan pemilih, ketika di suatu daerah pemilihan ada beberapa caleg. Para caleg diharapkan dapat menjadi garam dan terang di dunia politik dan tetap menjunjung tinggi kesatuan, meskipun berbeda partai.
Waktu yang masih tersisa sekitar 4 bulan, umat perlu mendapatkan animasi dan mengetahui rekam jejak, visi dan misi para caleg, bahkan meminta kontrak politik. Dengan demikian umat menjadi pemilih cerdas, tahu dengan benar bahwa suaranya diberikan kepada caleg yang diyakini memperjuangkan kesejahteraan umum (bonum commune). Partisipasi para caleg dan dukungan umat, merupakan tanda bahwa kita turut memberikan sumbangan kecil, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H