Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manusia-manusia Tamak

6 Juni 2024   12:12 Diperbarui: 6 Juni 2024   12:26 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sudahkah semua kota di bumi hancur?" aku bertanya pada malaikat kehancuran setelah melihat hamparan bumi yang semula gedung-gedung pencakar langit dan pemukiman padat rebah jimpah.

"Belum, ada satu kota yang dibiarkan tetap ada meski beberapa bangunannya tak luput dari goncangan dahsyat tiupan sangkakala. Dengar-dengar seniormu di departemen kematian merencanakan sesuatu pada kota itu."

"Eh, merencanakan sesuatu?" aku mengernyitkan dahi tak paham, "ini nih resiko anggota termuda pasti selalu ditilapkan dan ketinggalan informasi." Aku mengeluh, menghembuskan nfas yang tak lagi lancar.

Malaikat kehancuran menyunggingkan senyum melihatku yang kelimpungan ketinggalan informasi. Aku segera berteportasi, melesat dengan kecepatan kilat menuju kota yang dimaksudkan itu, meninggalkan bukit tinggi tempat malaikat kehancuran memantau bumi yang sudah rata dengan tanah sejauh mata memandang.

"Eh, Sadda, kemari kau bantu aku."

Aku menghentikan gerakan teleportasiku memutar arah, demi mendengar suara meneriakkan namaku. "Eh, Senior," kataku menunduk hormat pada senior tingkat pertama di departemen kematian, tempatku bekerja selama dua ribu tahun terakhir yang kulihat di antara puing-puing gedung yang roboh.

"Kau bantu aku membawa raga yang masih bernyawa ini pada peti lipat itu dan kumpulkan mereka di kota terakhir. Yang lain boleh jadi sudah di sana."

"Apa yang anda rencanakan pada kota itu senior?" tanyaku memerhatikan wajah-wajah yang ditenteng seniorku itu. Wajah-wajah tak asing, jika diingat-ingat sepertinya mereka buronan malaikat departemen penyiksaan.

"Kau belum tau?"

Aku menggeleng tegas, memang aku belum tahu, jadi jujur saja. Meski boleh jadi aku akan menjadi bulan-bulanan malaikat lain perihal keluguanku yang lebih mirip kebodohan. Seniorku menghela nafas, bola mata hitamnya menatapku sedikit tajam.

"Kau selalu saja ketinggalan informasi." Dia mengeluh masih menenteng beberapa raga bernyawa untuk kemudian dimasukkan ke dalam peti lipat. Gerakannya cepat.

"Departemen kematian berencana mengumpulkan para koruptor dan elit penguasa yang tamak yang tersebar di berbagai negara dan mengurungnya di kota terakhir. Kematian terlalu mudah bagi mereka yang merasa dunia miliknya dan merugikan banyak orang yang memiliki kesempatan hidup yang setara. Itu akan membuat mereka yang selama ini menganggap dunia penuh dengan kenikmatan yang dapat direngkuh dengan mudah menjadi menginginkan kematian lebih cepat menghampiri dari pada menderita sedemikian rupa. 

Lalu saat mereka telah mati dan menghadapi departemen penyiksaan mereka akan lebih tersiksa dan menginginkan kembali hidup dan berkilah akan hidup dengan tidak lagi menjadi penguasa tamak dan elit yang korup. Tapi itu percuma saja, mereka akan abadi dalam siksa." Seniorku berbaik hati menjelaskan sedetail-detailnya. 

Meski wajahnya terhitung garang untuk ukuran malaikat, ia tetap memiliki hati yang lembut dan kasih sayang yang teramat besar pada sesama, apalagi terhadap rekan satu departemen. Hal itulah yang membuatku betah bekerja di departemen ini selama ribuan tahun.

Aku berpikir sejenak, tugas departemen kami adalah perihal mengatur jadwal kematian, hilir mudik penjemputan nyawa dan mencacat setiap kematian dari mahluk yang ada di muka bumi. Jika kota terakhir itu ada sesuai yang dikatakan senior apakah itu tidak melanggar peraturan departemen lain juga pimpinan tertinggi, Tuhan.

Sembari menenteng raga bernyawa aku memikirkannya lagi, jika sudah terlaksana sedemikian rupa artinya hal ini bukan hanya sekedar rencana. Tetapi telah mendapatkan persetujuan dari sembilan depatemen dan juga Tuhan hingga sudah berjalan seperti sekarang. Baiklah aku lebih gesit lagi mengikuti pergerakan seniorku tanpa banyak tanya.

Dalam teleportasi yang kulakukan akhirnya aku melihat kota itu, kota yang masih berdiri di tengah tanah rata yang luas. Aku tak mengenali nama kota itu sebelumnya, apa pentingnya nama kota itu, toh para malaikat kini akan menyebutnya kota terakhir tempat para pejabat korup dan penguasa yang  tamak meregang nyawa dalam kesakitan. Tinggal di kota itu tidak akan menerbitkan bahkan seulas senyum dari bibir mereka. 

Sebagaimana mereka telah memadamkan ribuan bahkan jutaan senyum manusia lain akibat ketamakan dan kerakusan mereka. Hasrat  menguasai segala hal tak peduli itu berakibat fatal bagi bumi dan orang-orang lain yang ada di sekitar. Merea akan menghadapi penderitaan di bumi, sebelum menghadapi penderitaan di akhirat oleh departemen penyiksaan dan penghakiman di hadapan Tuhan.

"Mereka akan berapa lama di kota ini, Senior?"

"Sepuluh hari waktu yang diberikan oleh departemen kehancuran, setelah itu mereka akan benar-benar menghancurkan bumi tanpa sisa dalam satu tiupan sangkakala maha dahsyat."

Aku mengangguk mendengar penjelasan seniorku. Mataku masih awas melihat ke bawah sana, di mana raga-raga yang masih bernyawa tadi mulai bangun satu persatu. Tak lama mereka saling menyapasatu sama lain. Sepertinya mataku menangkap sesuat yang ganjil di sana.

Departemen kematian tidak akan turun tangan dalam penyiksaan, kami hanya menyediakan dan mengumpulkan mereka menjadi satu tempat. Penderitaan yang akan mereka alami sebagaimana yang dijelaskan senior adalah penderitaan yang disebabkan oleh hubungan dan interaksi antar manusia. Bukankah manusia lebih mematikan dari pada kematian itu sendiri, manusia lebih menakutkan dari pada siksa itu sendiri.

"Baiklah, selamat bersenang-senang, manusia korup dan tamak," gumamku sebelum meninggalkan kota itu. Mereka pasti akan saling menyakiti satu sama lain, saling senggol, saling menghianti demi kepentingan pribadi, bertahan hidup dan mengumpulan harta untuk membuktikan siapa paling berkuasa dan berharta. Manusia-manusia tamak itu, aku benar-benar tak sabar melihat mereka bergelimang penderitaan setelah selama ini bergelimang harta, jabatan dan kehormatan.

***

Setelah sembilan hari berlalu.

Tujuh anggota departemen kematian menuju kota terakhir untuk menuntaskan tugas terakhir, menjemput mereka yang hidup menderita di kota terakhir.

"Bisakah kita sedikit berlama-lama, Senior. Aku ingin bermain-main tarik ulur dengan nyawa mereka. Takkan kubiarkan tanganku menariknya dengan lembut." Seniorku tingkat 4 berkata.

"Tidak, tidak, lakukan saja seperti biasanya. Jangan sampai emosi pribadi mempengaruhi kinerja kita." Seniorku tingkat 3 menyahuti. Kami mengangguk menyetujui.

Namun, alangkah terkejut kami ketika sampai pada kota terakhir yang dipenuhi gelak tawa dari manusia-manusia rakus itu. Tak terlihat raut wajah dengan derita yang tersirat di sana.

"Lihatlah, dunia memang selalu berpihak pada kita, saat semua musnah di luar sana kita selamat dengan cara ajaib dan berkumpul di mana ini, surga?" ucap satu dari mereka.

Gelak tawa yang lain menyahuti.

Aku meremas jemariku, rupanya mengumpulkan mereka dalam satu tempat tidak memberikan efek penderitaa malah tawa bahagia yang ada. Kami sungguh-sungguh keliru memahami pemkiran manusia, apalagi manusia tamak seperti mereka.

"Jangan halangi aku untuk mencabutnya dengan cara yang paling sadis manusia-manusia tidak tahu diri itu." senioru tingkat 3 dan 4 sudah melesat lebih dulu, aku menyusul. Aku juga akan melakukan hal yang sama.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun